Jakarta (ANTARA) - “Agama tidak bisa diatur oleh kekuatan politik. Agama tumbuh tidak dengan logika kekuasaan, tapi dengan logika kepercayaan… “. Kuntowijoyo (1943-2005).

Pada tanggal 1 Januari 2021 berseliweran video tentang kedatangan vaksin COVID-19 di beberapa group Whatsapp. Dengan penjagaan yang sangat ketat, vaksin tersebut dibawa ke Bio Farma di Bandung.

Sepertinya para pengirim video tersebut merasa senang bahwa COVID-19 akan berakhir dengan adanya vaksin tersebut, walau ada juga yang mempertanyakan tentang efektivitas dan kehalalan vaksin tersebut di kolom komentar.

Video tersebut adalah video tentang kedatangan tahap ke-2 vaksin COVID-19 Sinovac yang dibuat oleh perusahaan SINOVAC BioTech Ltd sebanyak 1,8 juta dosis, yang didatangkan pada 31 Desember 2020. Sebelumnya, 6 Desember 2020, pemerintah juga sudah mendatangkan tahap pertama sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 Sinovac.

Awalnya ketika penyebaran COVID-19 mulai merebak, untuk memutuskan rantai penyebaran virus tersebut masyarakat diimbau untuk tinggal di rumah.

Ketika masyarakat tinggal di rumah, maka roda perekonomian melambat dengan cepat, dan tentunya ini juga tidak diingankan oleh pemerintah dan masyarakat.

Pemerintah kemudian memberlakukan gaya hidup kenormalan baru, dimana orang-orang yang berusia produktif diminta untuk tetap bekerja/berusaha, baik dari rumah maupun kantor, agar roda perekonomian tetap berjalan.

Kenormalan baru adalah sikap hidup masyarakat yang harus dilakukan untuk beradaptasi dengan suasana pandemic COVID-19 ini atau mengikuti protokol kesehatan, seperti menjaga kebersihan tangan, jangan menyentuh wajah, menerapkan etika batuk dan bersin, memakai masker, menjaga jarak, isolasi mandiri dan menjaga kesehatan.

Dengan adanya kenormalan baru ini diharapkan penyebaran virus akan terputus dan perekonomian tetap berjalan.

Data dari Situs Kemenkes per 5 Januari 2021 menunjukkan adanya penyebaran dan peningkatan dari korban virus COVID-19 yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 779.548 pasien, dimana angka pertambahannya mencapai 7.445 kasus. Angka kematian sebesar 23.109 dan angka yang sembuh sebesar 645.746.

Melihat dari penyebaran dan peningkatan penderita COVID-19 Tahun 2020, menyiratkan adanya “kegagalan” dalam sosialisasi protokol kesehatan dalam masa kenormalan baru. Bahkan masih ada orang-orang yang menyatakan bahwa virus corona jenis itu hanya khayalan saja.

Melihat semakin tingginya penyebaran dan korban dari COVID-19 ini, maka tidak ada cara lain selain memperketat pelaksanaan protokol kesehatan, juga harus dilaksanakan vaksinasi massal kepada seluruh warga Negara Indonesia, karena ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945.

Melihat ketatnya proses penelitian, pembuatan, produksi hingga didistribusikan vaksin dan juga karakternya, maka agak sulit kita membayangkan para produsen obat-obatan dunia akan dapat memproduksi vaksin dan digunakan secara massal dengan cepat.

Untuk menangani COVID-19 yang terus naik kasusnya, secara cepat dan tepat, Indonesia berencana akan menggunakan enam jenis vaksin yang sudah diteken oleh Menteri Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan No: HK.01.07/ Menkes/ 12758/2020 yang diteken pada Senin, 28 Desember 2020 sebagai berikut:

Vaksin Merah Putih merupakan hasil kerja sama antara BUMN PT Bio Farma (Persero) dan Lembaga Eijkman Institute, juga dengan Sinovac Biotech.

Vaksin Astrazeneca dan Novovac, merupakan produsen vaksin Inggris yang bekerja sama dengan Oxford University. Indonesia sudah mengamankan produksi vaksin ini sebanyak 50 juta vaksin (30 Desember 2020)

Vaksin Sinopharm, vaksin yang diproduksi oleh China National Pharmaceutical Group Corporation-China. Uni Emirat Arab diketahui sebagai negara pertama di luar China yang menggunakan vaksin ini.

Vaksin Moderna. Vaksin yang diproduksi oleh perusahaan Amerika Serikat Goldman Sachs yang mengklaim bahwa perusahaannya sudah mengantongi izin dari FDA AS untuk keadaan darurat.

Vaksin Pfizer. Vaksin ini diproduksi oleh perusahaan Pfizer dan BioNTech Amerika Serikat.

Vaksin Sinovac Biotech Ltd. Vaksin produksi perusahaan dari Negara China sedang menjalani uji klinis tahap III sejak Agustus 2020 di Bandung.

World Health Organization (WHO) menyebutkan vaksin COVID-19 sebagai kandidat yang masih harus mengalami uji klinis besar.

Disebut kandidat karena memang selain harus melalui uji klinis yang harus memuat efikasi dan keamanan, persetujuan regulator negara setempat, juga melibatkan Global Advisory Committee on Vaccine Safety.

Hasil uji klinis ini juga akan dianalisis oleh Panel Ahli Eksternal (SAGE) sesuai bukti terkait penyakit, kelompok usia yang terdampak, faktor risiko penyakit dan sebagainya.

Melihat “kegagalan” sosialisasi protokol kesehatan, maka tantangan berat bagi pemerintah adalah bagaimana sosialisasi vaksin COVID-19 ini bisa diterima oleh masyarakat dengan baik, di antara gempuran hoaks tentang COVID-19 yang banyak sekali beredar di media sosial. Agar vaksinasi massal tepat mengenai sasaran, diterima oleh masyarakat, maka pemerintah harus mempunyai bahasa yang mudah dan bisa dimengerti oleh masyarakat.

Data dari Kementerian Informasi dan Komunikasi sejak 23 Februari 2020 hingga 18 Oktober 2020 terdapat 2020 konten hoaks seputar COVID-19, termasuk dengan vaksin-vaksin COVID-19, dan yang sudah di take down sebanyak 1.759 hoaks.

Untuk menangani penyebaran hoaks COVID-19 ini tentunya pemerintah tidak akan bisa sendiri melakukannya, masyarakat juga selain harus cerdas, juga proaktif dengan mengklarifikasi berita-berita tersebut.

Luhut Binsar Panjaitan juga pernah ditegur oleh anak dan cucunya karena masalah komunikasi dan sosialisasi yang kurang baik tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja sehingga banyak penolakan dan unjuk rasa.

Intinya memang di komunikasi dan keterbukaan pemerintah dalam melakukan sosialisasi program kerja, termasuk dalam hal ini vaksinasi COVID-19 yang akan dimulai pertengahan Januari 2021 ini, dan akan dimulai dengan penyuntikan vaksin COVID-19 kepada Presiden Jokowi,13 Januari yang akan datang.

Dalam sebuah diskusi di University of Immaculate Conception Davao City, Filipina, beberapa tahun lalu, saya diundang sebagai salah satu pembicara dalam Penerapan Family Planning (Keluarga Berencana) di Filipina.

Seperti diketahui bahwa Filipina adalah sebuah Negara Katolik pertama di Asia, dimana agama tersebut “mengaharamkan” adanya kontrasepsi artificial, sehingga Program Keluarga Berencana di Filipina pada masa itu dianggap gagal total.

Lalu saya bercerita bahwa di Indonesia juga sebenarnya Program Keluarga Berencana menghadapi kendala yang sangat besar. Selain kepercayaan banyak anak banyak rezeki, rezeki sudah diatur oleh Tuhan dan lainnya, juga adanya penafsiran-penafsiran agama yang sempit, sehingga diperlukan dialog yang intens antara pemuka agama, pemuka masyarakat dan pemerintah.

Akhirnya pemerintah menggunakan bahasa agama yang mudah dipahami oleh masyarakat. Pemerintah menggunakan para pemuka agama dan masyarakat untuk membantu sosialisasi Program Keluarga Berencana sehingga Indonesia dianggap sebagai negara yang sukses.

Belajar dari Kasus Luhut Binsar Panjaitan dan diskusi saya dengan teman-teman di University of Immaculate Conception Davao City, maka sesungguhnya harus ada kepercayaan masyarakat kepada orang yang menyampaikan sosialisasi tersebut.

Trust ini tidak bisa dipaksakan, tapi dia akan tumbuh dan berkembang karena melihat kepribadian dan integrias seseorang dimana kata dan perilaku menjadi satu.

Kuncinya adalah kesesuaian status dan peran orang yang melakukan sosialisasi vaksianasi COVID-19 ini. Apabila tidak ada integritas antara peran dengan status, diyakini vaksinasi COVID-19 akan gagal,  sebagaimana penerapan protokol kesehatan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat menghormati para pemuka agama dan masyarakatnya. Program vaksinasi COVID-19 akan berhasil apabila melibatkan tokoh masyarakat dan agama, di mana masyarakat tersebut tinggal.

Hoaks tentang vaksin COVID-19 pasti akan hilang dengan sendirinya. Semoga pandemi ini akan berlalu, selamat menyongsong Tahun 2021 dengan harapan yang lebih baik lagi.

*) Nanang Sumanang adalah Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Copyright © ANTARA 2021