Jakarta (ANTARA) - Borneo FC sampai memohon Presiden Joko Widodo dan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali agar mengulurkan tangan untuk izin dari kepolisian guna memastikan nasib kompetisi Liga 1 Indonesia.

Borneo FC tak tahan dengan kondisi tak menentu di liga. Dan bukan cuma Borneo FC karena banyak klub lain, pelatih dan pemain juga gundah gulana oleh ketidakmenentuan nasib kompetisi liga elite sepak bola Indonesia itu, apalagi ini sudah masuk 2021.

Beberapa dari mereka bahkan meminta kompetisi dihentikan karena dianggap sudah terlalu terlambat untuk meneruskan lagi kompetisi.

Baca juga: Borneo FC minta Presiden Jokowi bantu permudah izin kompetisi

Mereka dirundung ketidakpastian ketika saat bersamaan mereka menyaksikan berbagai negara, termasuk di Asia Tenggara, berani mengambil keputusan untuk memastikan nasib liga sepak bolanya.

Di Afrika misalnya. Mengutip laman badan sepak bola benua ini (CAF), Afrika yang umumnya memiliki tingkat kasus infeksi dan kematian akibat pandemi COVID-19 lebih rendah dibanding kebanyakan negara di dunia, langkah cepat dalam menangani kompetisinya bahkan ditempuh beberapa negara pada awal-awal pandemi merajalela benua itu.

Mauritius contohnya, menjadi negara Afrika pertama yang mengakhiri kompetisinya 19 Maret tahun lalu atau jauh sebelum Eropa yang lebih ganas disapu COVID-19 mengambil keputusan menunda atau membatalkan kompetisi sepak bola profesionalnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepak Bola Mauritius Didier Gnanapragassa beralasan liga dan negara itu tak tahu pasti kapan pandemi berakhir sehingga lebih baik kompetisi dihentikan saja.

Ghana juga begitu. Pada 2 Juli 2020 mereka mengumumkan membatalkan musim kompetisi 2019/2020. Ghana tak memutuskan siapa juara musim itu yang sudah separuh jalan, sebaliknya Kenya membatalkan musim sembari memutuskan Gor Mahia yang memuncaki klasemen sebagai juara liga.

Sementara di Eropa, pada 2 April Pro League Belgia menjadi liga besar Eropa pertama yang membatalkan kompetisi dengan menobatkan Club Bruges sebagai juara musim yang terpotong pandemi. Belanda menyusul pada 25 April 2020, bahkan memutuskan tidak ada juara, pun tak ada degradasi, untuk musim yang batal itu. Sedangkan Ligue 1 Prancis menghentikan kompetisi pada 30 April dengan memutuskan pemimpin klasemen Paris Saint Germain sebagai juara.

Baca juga: Anang Ma'ruf tak bisa lupakan juara liga 2001 bersama Persija


Demi sepakbola profesional

Sementara di Asia Tenggara, mengutip football-tribe.com, nyaris tidak ada liga yang menghentikan kompetisi. Filipina yang menjadi salah satu negara terparah tertimpa pandemi di kawasan ini menggulirkan lagi kompetisi 28 Oktober dengan sistem turnamen mini seperti gelembung kompetisi basket NBA di AS. Enam tim bertarung di satu lokasi di pusat pelatihan liga sepak bola negeri itu (PFL) di Carmona guna menentukan juara PFL.

Singapura juga demikian. Singapore Premier League digulirkan lagi 16 Oktober sekalipun juara bertahan DPMM FC menolak mengikutinya karena alasan pandemi. Laos, Kamboja, Myanmar dan Malaysia juga meneruskan kompetisi yang kemudian masing-masing dijuarai Lao Toyota, Boeung Ket Angkor, Shan United, dan Johor Darul Ta’zim.

Vietnam dan Thailand pun begitu. Thai League dilanjutkan lagi 1 September 2020 sampai Mei 2021 setelah terhenti pandemi sejak Maret.

Baca juga: Liga Vietnam dan Thailand temui titik terang soal kelanjutan kompetisi

Sementara Indonesia beberapa kali merencanakan restart kompetisi, namun selalu terbentur izin kepolisian. Tapi tak ada yang salah dengan izin kepolisian karena undang-undang memang mengamanatkan polisi untuk memastikan keramaian tidak menciptakan masalah keamanan dan keselamatan.

Amanat itu dinyatakan langsung dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2017. Salah satu pasal dalam PP ini menyebutkan “Setiap penyelenggara kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya yang dapat membahayakan keamanan wajib memiliki surat izin.”

Salah satu pasal lainnya mendefinisikan Polri sebagai “alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Amanat itu, dan fakta tetap tingginya penyebaran virus corona di Indonesia yang saat bersamaan dibarengi relatif rendahnya disiplin kesehatan sebagian masyarakat sehingga bisa membuat pelik masalah keamanan, ketertiban dan keselamatan nasional, agaknya telah mendorong polisi tak memberi izin keramaian.

Dan polisi seharusnya tak dipaksa memberikan izin karena mereka tengah bergerak dalam koridor hukum, sebaliknya sikap polisi semestinya menjadi dasar untuk mengambil keputusan tegas dalam memastikan nasib kompetisi.

Tak membiarkan liga terus terombang-ambing oleh ketidakpastian bisa menyelamatkan kompetisi sepak bola profesional yang sudah menyangkut banyak hal, termasuk masa depan tim dan aspek finansial serta kesejahteraan banyak orang, bukan semata olahraga.


Karena bisa merusak citra

Beberapa waktu lalu FIFA mengambil keputusan tegas menunda Piala Dunia U-20 yang semestinya digelar tahun ini di Indonesia karena alasan pandemi tak kunjung mereda. Mengecewakan tetapi keputusan di tengah belum pastinya akhir pandemi, sekalipun vaksin sudah tersedia, memang harus diambil ketimbang terus bergulat dengan penantian yang tak kunjung pasti.

Baca juga: FIFA batalkan Piala Dunia U-20 2021 di Indonesia

Liga dan klub-klub memang sudah siap menggelar kompetisi tanpa disaksikan penonton seperti berlaku di Eropa dan dipusatkan di beberapa tempat. Tetapi momen itu sepertinya sudah lewat, paling tidak banyak klub, pelatih dan pemain kini lantang menyerukan kompetisi dihentikan.

Untuk itu, keputusan harus diambil demi meminimalkan dampak buruk pandemi mengingat saat ini saja sejumlah klub sudah meringis kesakitan dihantam dampak pandemi dan penundaan.

PSMS Medan yang resmi meminta kompetisi Liga 1 dan 2 dihentikan bahkan mengaku menelan kerugian yang tidak sedikit, termasuk harus terus membayar gaji pemain karena kontrak dalam sepak bola profesional memang mengamanatkan demikian.

Pemain asing yang hengkang dan sponsor yang bisa menarik diri seperti dialami Persipura Jayapura adalah juga akibat lain dari ketidakmenentuan. Yang juga harus diperhatikan adalah dampak buruknya terhadap citra sepak bola nasional dan kompetisi sepak bola profesional kita.

Dalam kaitan itu, Manajer Persebaya Surabaya Candra Wahyudi, dalam laman klub ini, menyatakan, "PSSI harus segera menentukan status kompetisi. Semakin tidak jelas maka daya tarik kompetisi semakin pudar. Hal itu bisa membuat pemain asing berpikir ulang untuk bermain di Indonesia.”

Pelatih Persib Bandung Robert Rene Alberts lebih gamblang lagi. Dia meminta PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) fokus saja menatap musim baru sehingga hentikan saja musim kompetisi 2020, apa pun posisi klasemennya.

Robert sulit membayangkan kompetisi musim 2020 dimainkan lagi Februari nanti karena waktunya sudah terlalu mepet, apalagi hampir seluruh tim telah meliburkan latihan bersama sehingga banyak pemain asing yang pulang ke negara asalnya. Dan mereka tak mungkin bisa dipanggil begitu saja, apalagi sejumlah negara menerapkan kebijakan pembatasan perjalanan.

PSSI dan PT LIB mengaku mendengar semua keluhan dan masukan ini. Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita sendiri memastikan masukan klub akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan nasib Liga 1 dan 2 musim 2020.

15 Januari ini, PT LIB akan menggelar pertemuan dengan pihak klub guna menentukan nasib liga. Dan komunitas sepak bola nasional menantikan kepastian bisa dihasilkan dari pertemuan itu.

Baca juga: PT Liga percepat pertemuan dengan klub bahas kelanjutan Liga 1-2
Baca juga: PT Liga : Masukan klub pertimbangan utama nasib liga Indonesia

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2021