Rupanya secara sadar atau tidak, pandemi ÇOVID-19 telah membawa perubahan yang amat berarti  pada harga kebutuhan pokok terutama pangan yang kian tinggi.
Jakarta (ANTARA) - Ketika karyawan di toko ritel sibuk menata stok bahan kebutuhan pokok yang akan dijual, mereka barangkali tidak seketika terkejut dengan perubahan harga yang pelan namun pasti.

Tetapi faktanya, kemudian mereka sibuk mengoreksi harga-harga yang sebelumnya tertera menjadi lebih tinggi.

Rupanya secara sadar atau tidak, pandemi ÇOVID-19 telah membawa perubahan yang amat berarti  pada harga kebutuhan pokok terutama pangan yang kian tinggi.

Organisasi buruh internasional ILO mencatat kenaikan harga pangan menjadi tren di berbagai wilayah, dan jelas terlihat bahwa harga pangan mulai meningkat di Asia Tengah, Asia Selatan, serta Asia Timur, dan Asia Tenggara sejak Januari 2020, dan beberapa bulan kemudian di seluruh dunia.

Kenaikan harga itu jelas berdampak pada kehidupan buruh yang harus menjadi salah satu pihak yang menanggung beban akibat wabah COVID-19 di berbagai kawasan. Terlebih untuk fakta bahwa banyak negara Asia terkena lebih awal daripada negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan di tempat lain di dunia.

ILO juga mencatat di Asia Timur dan Asia Tenggara, inflasi harga pangan meningkat dari 5,2 persen pada Desember 2019 menjadi 9,3 persen pada Januari 2020.

Sementara itu di Eropa dan Amerika Utara, inflasi harga pangan meningkat dari 1,9 persen pada Maret 2020 menjadi 3,8 persen pada April 2020, ketika lockdown banyak diberlakukan. Pola serupa pun dapat diamati di semua wilayah lain.

Pandemi COVID-19 memang merupakan kejadian dentan dampak  luar biasa yang mendisrupsi stabilitas pasokan dan harga pangan dunia.

Baca juga: Anggota DPR: Badan pangan nasional perlu dibentuk guna kelola pasokan

Pakar ekonomi pertanian dari UC Davis, Amerika Serikat, Daniel Sumner mengatakan sistem pangan sudah biasa mengalami guncangan yang luar biasa tetapi hampir selalu mampu untuk menyediakan pasokan terhadap permintaan. Namun saat ini adalah pertama kali dalam sejarah terjadi disrupsi luar biasa yang mengganggu permintaan dan pasokan pangan.

Sementara itu di Indonesia, hal serupa sejatinya sedang terjadi, ketika pemerintah dihadapkan pada jalan panjang yang tak mudah untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok sementara pandemi belum juga berakhir.

Kemampuan adaptasi

Masyarakat di Tanah Air kerap menghadapi fluktuasi harga pangan terutama di musim-musim tertentu seperti lebaran, Natal, dan tahun baru.

Meskipun berbagai cara telah dilakukan Pemerintah untuk mengantisipasinya termasuk melakukan operasi pasar namun hal serupa berulang setiap waktu. Memang ada saat-saat ketika konsumsi atas bahan pokok tertentu tidak terelakkan meningkat tetapi antisipasi yang baik tetap perlu dilakukan sebagai bentuk adaptasi.

Namun pandemi COVID-19 adalah kisah lain yang membuat pemerintah semakin banyak menghadapi kendala untuk bisa menyetabilkan harga kebutuhan pokok masyarakatnya.

Belum lama ini misalnya, Presiden Jokowi sempat menegur jajarannya ketika tahu dan tempe tiba-tiba menghilang di pasaran. Kalau pun ada harganya melonjak tajam.

Jika mau jujur, sebenarnya pasar pasokan kebutuhan pokok di Indonesia masih dikuasai oleh tangan-tangan tak terlihat yang justru menjadi penentu harga pangan. Beberapa di antaranya menyebutnya sebagai mafia pangan. Inilah yang benar-benar harus diberantas sampai ke akarnya.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia perlu untuk beradaptasi dengan harga-harga pangan yang telah terkoreksi selama pandemi.

Pemerintah sejak awal pandemi memang telah menetapkan dan memastikan untuk menjaga
4 aspek yakni stok atau ketersediaan, pasokan, distribusi, dan paling penting adalah stabilisasi harga bahan pokok.

Baca juga: Luhut minta peta jalan pengembangan food estate selesai April

Sementara itu program-program jangka panjang untuk memastikan empat aspek tersebut tetap aman juga terus dilakukan. Presiden Jokowi bahkan terus memastikan program “food estate” atau lumbung pangan terus berjalan dengan baik.

Terlebih Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB sebelumnya telah mengingatkan mengenai potensi kelangkaan atau krisis pangan yang risikonya bisa semakin meningkat di tengah pandemi COVID-19.

Sementara itu untuk menjaga daya beli masyarakat Pemerintah meluncurkan sejumlah bantuan sosial di tengah pandemi COVID-19.

Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) Achmad Yakub mengatakan sejauh ini pemerintah sudah cukup berhasil menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat.

Sejumlah strategi yang diterapkan terbukti efektif di antaranya untuk jangka pendek memberikan bantuan sosial dan memastikan distribusi logistik pangan lancar.

Untuk jangka menengah mendorong petani dengan memberikan bantuan input pertanian, alsintan, dan kepastian harga. Dukungan non-fisik, pendampingan, dan upgrade teknologi pertanian bersama petani agar meningkatkan produktivitas. Hal itu pun dilakukan seiring terbentuknya korporasi petani, Bumdes pangan dan mendorong petani untuk go digital.

Yakub juga menekankan pentingnya untuk menghentikan segera laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang menurut BPS tiap tahun mencapai 100 ribu hektare. Sebab produktivitas pangan yang memadai harus dipastikan dengan luas lahan pertanian bagi petani agar sesuai UU nomor 19/2013 yakni minimal 2 hektare.

Ia mendorong segera dibentuknya Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang bertugas memastikan ketersediaan big data neraca pangan, perencanaan pangan, dan membuat peta jalan ketersediaan pasokan, dan stabilisasi harga pangan.

Masalah Serupa

Sesungguhnya hal serupa tidak melulu terjadi di Indonesia. Di hampir seluruh negara lain di dunia persoalan yang sama pun terjadi.

Mereka menghadapi rumitnya upaya untuk memastikan pasokan hingga distribusi pangan terjaga dengan baik sehingga harganya tetap stabil di tengah masyarakat. Padahal pandemi telah membawa kesulitan tersendiri terutama dalam soal distribusi akibat banyak kebijakan terkait pembatasan pergerakan diterapkan.

Baca juga: Pemerintah perlu jamin ketersediaan pangan selama PPKM Jawa-Bali

Stephanie Walton dan Corinna Hawkes dari Centre for Food Policy pada Maret 2020 melakukan studi khusus untuk mempelajari dan mereview inovasi kebijakan pangan di sejumlah negara di Indonesia yang sedang mengalami pandemi.


Keduanya menemukan misalnya di Brasil, India, dan Afrika Selatan yang masing-masing memiliki kebijakan jaminan hak atas pangan untuk warganya yang tertulis dalam konstitusi mereka, tetapi penerapannya berbeda-beda.

Di Brasil, jaminan hak atas pangan sebagian besar dikuasai oleh gerakan masyarakat sipil yakni Dewan Nasional untuk Ketahanan Pangan yang beranggotakan masyarakat sipil dan pemerintah.

Sementara itu Afrika Selatan tetap fokus pada pembangunan infrastruktur jaringan pangannya.
Sejumlah inovasi juga sedang dikembangkan pada upaya ketahanan pangan, mengesampingkan kepentingan politik menuju akses pangan yang lebih adil.

Di India, jaminan hak atas pangan diterapkan melalui distribusi langsung bahan pokok termasuk sereal bersubsidi tinggi dan diawasi secara khusus oleh Departemen Pangan dan Distribusi Publik.

Di satu sisi Skotlandia sedang mempertimbangkan untuk memasukkan jaminan hak atas pangan ke dalam RUU Pangan mereka sejak awal tahun lalu. Ada kampanye publik yang diinisiasi oleh masyarakat yang mendesak agar jaminan hak atas pangan tersebut masuk dalam draf RUU tersebut.

Begitulah, sepertinya negara-negara di dunia semakin berkonsentrasi untuk memastikan ketersediaan pangan dan kestabilan harga bahan pokok untuk warganya.

Bahan pokok menjadi kedaulatan tertinggi yang menjamin keutuhan sebuah generasi. Maka sepanjang apapun jalan yang ditempuh untuk memastikan kestabilan pasokan dan harganya, tetap harus dijalani sambil terus menemukan inovasi.
 

Copyright © ANTARA 2021