Sementara terpidana yang bukan pelaku utama malah dihukum lebih berat jadi merasa tidak adil, dan dia mengajukan PK
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung menyampaikan tiga alasan pihaknya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi.

"Berdasarkan pengamatan kami terkait dengan tindak pidana yang dikurangi berdasarkan putusan PK pada pokoknya ada 3 hal alasan kenapa dikabulkan, pertama karena disparitas pemidanaan," kata Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro di Jakarta, Jumat.

Andi Samsan menyampaikan hal tersebut dalam diskusi virtual "PK Jangan Jadi Jalan Suaka" yang diadakan KPK. KPK mencatat setidaknya 65 terpidana korupsi mengajukan upaya PK pada 2020.

"Fakta menunjukkan ada tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tapi dalam persidangan orang berkas-nya ada yang diajukan terpisah meski pada hakikatnya tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang sehingga pemeriksaannya juga terpisah dan hasil pemeriksaan perkara juga tidak diajukan serempak," ungkap Andi Samsan.

Hasilnya, ada terpidana yang sudah diputus lebih dulu ada yang belum dan majelis hakim yang mengadili juga dapat berbeda-beda baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi sehingga memutuskan putusan yang berbeda-beda.

"Jadi ada terpidana yang merasa dirinya lebih berat hukumannya padahal perbuatan sama, lalu ada juga yang sudah mengembalikan uang hasil pidana tapi merasa hukumannya juga berat, nah itu dijadikan alasan PK," papar Andi Samsan.

Alasan kedua menurut Andi Samsan, MA menemukan ada terpidana merupakan pelaku utama, tapi malah dihukum lebih ringan.

Baca juga: Andi Samsan Nganro terpilih jadi Wakil Ketua MA Bidang Yudisial

Baca juga: Menyoal fenomena pengurangan hukuman koruptor di tingkat PK


"Sementara terpidana yang bukan pelaku utama malah dihukum lebih berat jadi merasa tidak adil, dan dia mengajukan PK," ungkap Andi Samsan.

Alasan ketiga adalah adalah perkembangan kondisi hukum.

"Rasa keadilan itu kan suatu seni pertimbangan ditambah fungsi rasio dan hati nurani sehingga menghasilkan angka yang adil, termasuk juga 10 tahun terakhir ada pergeseran penerapan hukum yang berkembang menuntut melakukan inovasi untuk kemanfaatan," tutur Andi Samsan.

Meski demikian Andi Samsan tidak menjelaskan pergeseran penerapan hukum seperti apa yang spesifik ingin dilakukan MA.

"Dan dari seluruh permohonan PK kasus korupsi, hanya 8 persen yang dikabulkan, 92 persen ditolak," ungkap Andi.

Menurut KPK, terdapat sejumlah fenomena menarik dalam pengajuan PK para terpidana korupsi.

"KPK mencatat ada 65 terpidana korupsi yang mengajukan upaya PK pada 2020, dan hal lain yang menarik adalah ada yang tidak melewati upaya hukum biasa jadi setelah menerima putusan di pengadilan tingkat pertama lalu dieksekusi dan dalam beberapa bulan kemudian mengajukan PK," ujar Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri dalam diskusi tersebut.

KPK pun menilai putusan PK yang diterima majelis PK ternyata menurunkan vonis (strachmacht) angka hukuman.

Sejumlah terpidana korupsi yang mendapat keringanan hukuman dari putusan PK antara lain adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tadinya dihukum selama 14 tahun dalam perkara suap Hambalang dipotong hukumannya menjadi tinggal 8 tahun penjara; mantan Ketua DPD Irman Gusman dalam kasus korupsi impor gula mendapat korting hukuman dari 4,5 tahun menjadi 3 tahun dan langsung bebas.

Masih ada mantan anggota Komisi V DPR Musa Zainuddin sebagai terpidana suap proyek infrastruktur divonis 9 tahun penjara tapi dipotong menjadi enam tahun; mantan hakim MK Patrialis Akbar dalam kasus suap impor daging sapi dihukum 8 tahun penjara dan dipotong menjadi tinggal 7 tahun penjara.

Baca juga: KPK: Fenomena koruptor ajukan PK harus diperhatikan MA

Baca juga: Pimpinan KPK akan temui MA soal marak hukuman koruptor didiskon

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021