kesadaran untuk “belajar sepanjang hayat”
Jakarta (ANTARA) - ​Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI 20 Januari 2021, Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim, menyampaikan bahwa pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) diundur dari rencana semula pekan pertama Maret 2021 menjadi bulan September-Oktober 2021.

Pengunduran ini disebabkan bahwa pada bulan Maret-April Kemendikbud baru akan melaksanakan tahapan rapat koordinasi, sosialisasi, dan pelaksanaan teknis persiapan. Pengunduran ini juga sepertinya akibat dari pandemi COVID-19 yang masih merajalela.

Pelaksanaan Asesmen Nasional yang terdiri dari tiga bagian yaitu; AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) yang terdiri dari Literasi dan Numerasi, Survey Karakter, dan Survey Lingkungan Belajar, merupakan upaya pemerintah untuk mencari data awal/ memotret income, process, ouput dan outcome kemampuan murid dalam literasi dan numerasi, karakter serta data penunjang seperti lingkungan sekolah.

Dari data tersebut nantinya akan dipetakan dan dibuat program secara bersama-sama agar kemampuan literasi dan numerasi murid-murid di Indonesia ada peningkatan dan merata di seluruh Indonesia.

Seperti diketahui bahwa selama 10-15 tahun peringkat Indonesia di PISA (Programme for International Student Assement) berada dalam posisi yang rendah, dan belum mengalami kenaikan yang sifatnya signifikan.

Untuk tahun 2018 saja dari usia anak 15 tahun yang berjumlah 600 ribu anak, dari 78 negara secara rata-rata Indonesia menempatkan urutan ke 71.

Baca juga: Perpusnas minta perguruan tinggi kembangkan SDM melalui literasi


Asal kata literasi

Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin “Literatus” yang berarti orang yang belajar. Arti ini erat kaitannya dengan membaca dan menulis.

Dalam kamus online Webster literasi bermakna kemampuan atau kualitas melek aksara seseorang, dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan literasi sebagai kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kemendikbud (2016) mendefinisikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktifitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara.

Pada Forum Ekonomi Dunia tahun 2015 di Davos (21-24 Januari 2015) disepakati bahwa setiap negara harus mendorong, menguatkan dan mengembangkan enam literasi kepada seluruh warganya yaitu; literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Tahun 2016 Kemendikbud menggiatkan Gerakan Literasi Nasional sebagai implementasi dari Permendikbud No 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan ini menjadi sangat penting karena merupakan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Adanya kesadaran pemerintah tentang hubungan pendidikan dan literasi di satu pihak serta pembangunan sosial-ekonomi, dan kesejahteraan di pihak lain adalah variabel yang saling berpengaruh untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Pendidikan dan literasi adalah bagian dari pembangunan manusia yang dapat membuka jalan untuk memutus mata rantai kemiskinan di masyarakat.

Karena itu, pemerintah terus meneguhkan komitmen untuk berinvestasi dalam pembangunan manusia dan menempatkan pendidikan dan sektor sosial-budaya, termasuk literasi pada posisi sentral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional. Melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memasukkan Literasi sebagai salah satu prioritas Rencana Kerja Pemerintah tahun 2019.

Selain PISA, Central Conecticut State University dalam publikasinya tentang The World’s Most Literate Nation 2016 menempatkan literasi Indonesia pada urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti.

Sementara itu riset Perpusnas 2017 menunjukkan frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu, dan lama waktu membacanya per hari hanya 30-59 menit, dengan jumlah buku yang dibacanya rata-rata 5-9 buku per tahun. Kalau dirata-rata tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia hanya 36,48 dan itu tergolong rendah.

Dengan rendahnya kegemaran membaca, mengakibatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga rendah, yaitu berada pada 113 dari 188 negara, karena salah satu unsur penunjang tinggi rendahnya IPM adalah pendidikan, disamping unsur kesehatan dan kesejahteraan.

Baca juga: Pemerintah gandeng asosiasi fintech genjot ekonomi digital nasional

Sejarah literasi

Melihat sejarah perjalanan literasi dalam arti yang luas, termasuk literasi budaya, maka sesungguhnya bangsa Indonesia sudah sangat lama dan panjang mengenal literasi.

Penemuan gambar seekor babi kutil yang diperkirakan berusia 45.500 tahun lalu di gua kapur Leang Tedongnge, di Sulawesi Selatan baru-baru ini, menjadi bukti adanya kegiatan literasi yang cukup tua di Indonesia. Penemuan ini dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah Science Advances pada tanggal 14 Januari 2021.

Belum lagi kalau kita melihat prasasti, candi, atau manuskrip-manuskrip kuno yang banyak ditemukan di daerah-daerah di Indonesia yang sekarang sedang dikumpulkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya benda dan tak benda, maka sesungguhnya bangsa ini mempunyai pengalaman panjang dalam berliterasi.

Ditambah dengan masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, di mana ayat pertama yang diturunkan adalah perintah membaca dalam artian yang sangat luas, harusnya bangsa Indonesia bisa memiliki budaya literasi yang baik.

Kunci untuk meningkatkan budaya literasi masyarakat sebenarnya adalah adanya kesadaran untuk “belajar sepanjang hayat”.

Dalam zaman internet seperti sekarang ini, dimana informasi sangat mudah didapat, dan kadang datang dengan sendiri di smartphone kita, atau komputer, maka selain kesadaran “belajar sepanjang hayat” harus ditambah lagi dengan memanfaatkan informasi secara “etis dan bertanggung jawab”.

Membangun budaya literasi, apalagi seperti yang diharapkan dalam RKP 2019 yaitu menghubungkan dengan kesejahteraan sosial tentunya bukan suatu hal yang mudah.

Diperlukan perencanaan program yang baik, tahapan pelaksanaan, dan evaluasi yang jujur dan terukur, serta didukung oleh semua pihak, terutama adalah keluarga, dan masyarakat sekolah, tentunya juga adalah pemerintah.

Baca juga: Menkeu: Literasi rendah tantangan kembangkan ekonomi syariah

Peningkatan literasi

Dalam kesepakatan Muscat (Muscat Agreement) 2014 yang ditandatangani oleh seluruh peserta dalam Global Education for All yang diselenggarakan oleh UNESCO (12-14 Mei 2014) di Muscat, Oman, untuk meningkatkan literasi harus dilakukan empat hal.

Pertama, semua negara memastikan bahwa pada tahun 2030, seluruh pelajar dididik oleh guru-guru yang memenuhi kualifikasi, terlatih secara profesional, memiliki motivasi, dan mendapatkan dukungan dari seluruh masyarakat. Guru dan keluarga memegang peranan sangat penting, oleh karenanya guru dan anggota keluarga harus mengedukasi dirinya sendiri dahulu untuk berliterasi.

Kedua, mengatasi masalah gizi sedini mungkin. Peningkatan anggaran pendidikan tanpa perbaikan gizi anak ternyata tidak berdampak terhadap peningkatan kecerdasan dan prestasi belajar. Dana yang cukup besar dalam anggaran Kemendikbud, kiranya juga bisa disisihkan untuk memberikan makanan tambahan bagi murid-murid dari keluarga pra sejahtera.

Ketiga, membangun dan meningkatkan infrastruktur pendidikan terutama penyediaan listrik, perpustakaan, laboratorium komputer dan akses terhadap internet serta peningkatan infrastruktur ICT yang saat ini tertinggal di ASEAN.

Perpustakaan menjadi sangat penting dalam kegiatan literasi. Undang-Undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 2 menyebutkan bahwa “Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan”.

Ini artinya perpustakaan adalah tempat pembelajaran dan kemitraan bagi masyarakat yang dikelola secara profesional dan terbuka bagi semua lapisan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan dapat diukur capaian kinerja dan kesejahteraan masyarakat (Suharyanto Mallawa, 2019). Atau dalam kata lain perpustakaan berbasis inklusi sosial, dimana perpustakaan melibatkan peran seluruh lapisan masyarakat agar informasi mudah diakses.

Keempat, memasukkan kembali buku bacaan wajib ke dalam kurikulum. Untuk menjamin ketersediaan buku bacaan bermutu, maka pemerintah dan swasta harus bahu-membahu dalam menerbitkan buku-buku yang sangat bermutu.

Editor bahasa dan editor isi menjadi sangat penting untuk menyeleksi buku-buku yang akan diterbitkan. Balai Pustaka sebagai penerbit milik Negara juga harus difungsikan/dikembalikan fungsinya lagi sebagai penyedia buku bacaan bermutu, terutama buku-buku fiksi bagi sekolah-sekolah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemakaian buku sekolah oleh penerbit tertentu hanya untuk keuntungan pribadi/golongan dan penerbit tertentu.

Pada akhirnya kegiatan literasi ini harus didukung oleh semua pihak, apalagi literasi sudah masuk prioritas dalam RKP 2019, di mana kesuksesan kegiatan literasi ini akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya.

Literasi bukan lagi sekadar urusan mengentaskan buta aksara, melainkan telah menjadi syarat kecakapan hidup dan kemampuan bersaing suatu negara dalam dunia global.

Negara-negara dengan budaya literasi yang tinggi berbanding lurus dengan kemampuan bangsa tersebut memenangi persaingan global, terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi, kehebatan ekonomi, serta sukses dalam persaingan pasar kerja.

Baca juga: Kominfo kembangkan empat pilar literasi dorong transformasi digital

*) Nanang Sumanang adalah Guru Sekolah Indonesia Davao, Filipina

Copyright © ANTARA 2021