Pada akhir 2019, Exxon mempekerjakan sekitar 75.000 orang dan Chevron sekitar 48.000
New York (ANTARA) - Kepala Eksekutif atau CEO ExxonMobil Corp dan Chevron Corp telah mengadakan pembicaraan pendahuluan pada awal 2020 untuk menjajaki penggabungan dua produsen minyak terbesar AS itu, yang akan menjadi merger terbesar sepanjang masa, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Diskusi-diskusi, yang tidak lagi aktif, menunjukkan tekanan yang dihadapi perusahaan paling dominan di sektor energi itu saat pandemi COVID-19 dan harga minyak mentah anjlok.

Pembicaraan antara CEO Exxon Darren Woods dan CEO Chevron Mike Wirth cukup serius untuk menyusun dokumen hukum yang melibatkan aspek-aspek tertentu dari diskusi-diskusi merger, kata salah satu sumber, dikutip dari Reuters. Alasan pembicaraan berakhir tidak dapat dipelajari.

Baca juga: Survei: Produksi minyak OPEC Januari naik untuk bulan ketujuh

Sumber meminta anonimitas karena masalah tersebut bersifat rahasia. Exxon dan Chevron, yang memiliki kapitalisasi pasar masing-masing 190 miliar dolar AS dan 164 miliar dolar AS, menolak berkomentar.

Saham Exxon dan Chevron menukik tahun lalu setelah perang harga Saudi-Rusia dan dampak dari wabah virus corona baru menyebabkan harga minyak turun. Saham Exxon terpukul paling parah, karena investor menyuarakan kekhawatiran tentang profitabilitas jangka panjang dan keputusan pengeluaran perusahaan.

Dalam pembicaraan mereka, CEO Exxon dan Chevron membayangkan mencapai sinergi melalui pemotongan biaya besar-besaran untuk membantu mengatasi penurunan pasar energi, kata salah satu sumber. Pada akhir 2019, Exxon mempekerjakan sekitar 75.000 orang dan Chevron sekitar 48.000.

Menyusul pembicaraan yang dibatalkan dengan Exxon, Chevron kemudian mengakuisisi produsen minyak Noble Energy dalam kesepakatan tunai dan saham senilai lima miliar dolar yang diselesaikan pada Oktober.

Penggabungan Exxon dan Chevron akan menghadapi rintangan yang signifikan, termasuk kekhawatiran antimonopoli dan keberatan dari pesaing-pesaing perusahaan. Beberapa anggota parlemen AS, terutama Demokrat, menyalahkan Big Oil karena berkontribusi pada perubahan iklim, yang menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Berita tentang pembicaraan yang gagal muncul karena Exxon mendapat tekanan dari beberapa pemegang sahamnya atas arahan strategisnya.

Engine No. 1, sebuah perusahaan investasi berbasis di San Francisco, minggu lalu menominasikan empat direktur untuk dewan Exxon dan mendorong perusahaan untuk membelanjakan uangnya dengan lebih baik, mempertahankan dividennya, dan berinvestasi lebih banyak dalam energi bersih. Exxon juga berada di garis bidik hedge fund D.E. Shaw, yang menekan perusahaan untuk memangkas biaya dan meningkatkan kinerja.

Exxon melaporkan hasil kuartal keempat pada 2 Februari. Chevron pekan lalu secara mengejutkan melaporkan kerugian kuartal keempat sebesar 11 juta dolar AS karena margin rendah pada bahan bakar, biaya akuisisi, dan efek mata uang asing menekan hasil pengeboran yang meningkat.

Baca juga: Harga minyak Brent naik,di tengah peluncuran vaksin yang lamban


Gabungan raksasa

Sebuah gabungan Exxon-Chevron akan dikalahkan ukurannya hanya oleh Saudi Aramco, yang membanggakan nilai pasar sekitar 1,8 triliun dolar AS dan sebelumnya telah mendorong banyak pengebor AS ke jurang keuangan dengan membanjiri pasar dengan minyak.

Terlepas dari kekhawatiran antimonopoli yang tak terhindarkan, perusahaan dapat berargumen bahwa merger akan mewakili upaya terbaik Amerika Serikat dalam menghadapi konglomerat milik negara Saudi dan produsen-produsen minyak terbesar lainnya di dunia yang didukung negara, kata salah satu sumber.

Perang harga minyak Saudi-Rusia tahun lalu, misalnya, menyoroti kerentanan produsen AS terhadap pemerintah asing yang secara efektif dapat mendikte harga minyak mentah dengan memaksa perusahaan-perusahaan energi untuk kembali meningkatkan atau memangkas produksi.

Perusahaan-perusahaan minyak AS masing-masing bersaing satu sama lain dan menetapkan target produksi mereka sendiri yang bervariasi, dengan kemampuan terbatas Washington untuk campur tangan.

Exxon dan Chevron, dengan neraca mereka yang kuat, bertahan dari gejolak di pasar energi menyusul pandemi yang memaksa beberapa produsen minyak dan gas independen yang lebih kecil untuk mengajukan perlindungan kebangkrutan.

Namun mereka juga merasakan sakitnya. Permintaan minyak menguap pada awal 2020 karena pemerintah memberlakukan pembatasan perjalanan dan perintah tinggal di rumah untuk memperlambat penyebaran pandemi COVID-19.

Pada satu titik pada April, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS berubah negatif untuk pertama kalinya, menandakan penjual perlu membayar pembeli untuk mengambil komoditas dari tangan mereka. Harga-harga sejak itu melonjak menjadi sekitar 52 dolar AS per barel.

Exxon dan Chevron sama-sama telah menghentikan pekerjaan selama setahun terakhir. Exxon akhir tahun lalu membiarkan dividennya datar setelah meningkatkan pembayaran kepada para pemegang saham setiap tahun sejak 1982.

Baca juga: SKK Migas pastikan HOA transisi WK Rokan telah ditandatangani

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021