Jakarta (ANTARA) - Ombudsman Republik Indonesia mengatakan bahwa penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jalan Tol harus sesuai dengan prinsip pelayanan publik.

Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto menegaskan, jika dalam penyusunan RPP Jalan Tol ini tidak mengakomodir aspirasi publik, bahkan dalam pelaksanaannya bertentangan dengan prinsip pelayanan publik sesuai UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, maka dapat dipastikan akan menuai protes maupun gugatan publik.

“Pada gilirannya, hal itu juga akan mendorong adanya laporan pengaduan masyarakat melalui Ombudsman RI dalam kaitannya dengan praktik maladministrasi di substansi penyelenggaraan layanan jalan tol,” kata Hery dikutip dari keterangan yang diterima ANTARA, Sabtu.

RPP Tentang Perubahan Kelima Atas PP No 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol ini pun merupakan tindak lanjut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dari UU Cipta Kerja.

Lebih lanjut, Hery mengatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Yang pertama, adalah perlu dijelaskan pokok-pokok pikiran terkait alasan perubahan pasal-pasal dalam RPP tersebut. "Pasal-pasal yang dihapus, diubah maupun ditambah dengan menyesuaikan pada UU Ciptaker," jelas dia.

"Hal kedua, jalan tol merupakan barang publik (public goods) yang cenderung mengalami perubahan menjadi barang quasi (quasi goods) tentu erat kaitannya dengan pelayanan publik," kata Hery.

Ketiga, esensi dari UU No 25 tentang Pelayanan Publik harus dicantumkan dalam klausul RPP Tentang Jalan Tol.

Hery mengatakan, RPP harus memuat prinsip-prinsip pelayanan publik, yakni kepastian hukum, keterbukaan, partisipatif, akuntabilitas, kepentingan umum, profesionalisme, kesamaan hak, serta keseimbangan hak dan kewajiban.

Keempat, Hery menjabarkan sejumlah keluhan masyarakat yang muncul dalam penggunaan jalan tol yakni kinerja pelayanan jalan tol terus mengalami distorsi, terutama kemacetan yang semakin sulit diatasi, kualitas jalan tidak memadai sebagai jalan yang berbayar, misalnya ruas jalan banyak yang berlubang hingga jalan tol yang belum nyaman bagi pengguna.

Menurut Hery, kebijakan tarif tol yang selalu naik setiap dua tahun juga perlu dikritisi. "Pemerintah tidak fair karena SPM (Standar Pelayanan Minimal) tidak terpenuhi. Konsekuensi kebijakan privatisasi jalan tol berimplikasi terhadap tarif tol semakin mahal dan naik setiap dua tahun."

Kelima, Hery memberikan masukan agar pemerintah segera menyelaraskan peraturan perundang-undangan teknis sebagai derivasi dari RPP ini sebagaimana mestinya

Sementara itu, pemerintah kini sedang fokus pada pembangunan infrastruktur jalan. Pembangunan tersebut di samping memicu pertumbuhan ekonomi, juga mengintegrasikan antarwilayah guna memperkuat NKRI. Pembangunan jalan tol dikembangkan di wilayah trans-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah menggandeng pihak swasta dengan cara privatisasi. Pembangunan jalan tol berimplikasi terhadap aspek sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan.



Baca juga: Jasa Marga lanjutkan rekonstruksi Simpang Susun Cikunir

Baca juga: Waskita lepas 20 persen saham Tol Semarang-Batang, raup Rp1,5 triliun

Baca juga: PUPR memulai prakualifikasi lelang Jalan Tol Gilimanuk -- Mengwi Bali
Pewarta:
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021