Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai muatan dalam Pasal 27 ayat 3 UU nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terlalu luas dan multitafsir, sehingga dalam penerapannya justru tidak merujuk pada pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Muatan yang terlalu luas dan multitafsir ini, tidak jarang dalam penerapannya justru tidak merujuk pada pasal 310-311 KUHP yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung dan tidak boleh menyerang penghinaan apabila demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri," kata Didik di Jakarta, Sabtu.

Dia menilai dalam beberapa waktu terakhir, tidak bisa dipungkiri perkembangan dan penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27, 28, dan 29 memunculkan keresahan di masyarakat.

Bahkan, menurut dia, menjadi alat kriminalisasi, saling melapor satu sama lain sehingga banyak masyarakat, tokoh dan bahkan jurnalis yang ikut terjerat dan menjadi korban.

Baca juga: Komisi III dukung pemerintah revisi "pasal karet" di UU ITE

"Pasal 27 UU ITE juga kerap digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap konten jurnalistik. Pada praktiknya sangat potensial Pasal 27 ayat (3) ini juga dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis," ujarnya.

Didik menilai Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait penyebaran informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Menurut dia, tafsir Pasal 28 ayat 2 itu juga sangat sangat luas dan multitafsir karena suatu kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian.

"Ini akan menimbulkan distorsi dalam konteks kebebasan berpendapat dan mengeluarkan kritik, yang bisa berpotensi membungkam dan memberangus demokrasi," katanya.

Politisi Partai Demokrat itu setuju apabila pasal-pasal karet seperti Pasal 27 dan 28 dipertimbangkan untuk direvisi dan/atau dicabut dari UU ITE.

Baca juga: Herman Hery: Revisi UU ITE-KUHP sangat krusial dilakukan

Namun, menurut dia, upaya untuk terus menghadirkan "cyber space" yang terbebas dari "fake", "hate speech" dan "hoax" menjadi kebutuhan dasar dalam perkembangan digital saat ini, selain penegakan hukumnya sendiri.

"Saya juga berharap, agar pemerintah dan negara hadir untuk melakukan edukasi yang cukup terhadap masyarakat terkait literasi digital," ujarnya.

Didik menilai edukasi masyarakat perlu dilakukan agar memahami bagaimana batasan-batasan menggunakan teknologi informasi khususnya di media sosial, memproduksi konten digital yang baik, sehingga penggunaan teknologi tetap berjalan sesuai dengan fungsi positifnya.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Pasal 28 ayat (2) UU ITE disebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

Baca juga: Sahroni sarankan UU ITE direvisi menyeluruh

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021