Jakarta (ANTARA News) - Ketika Dewan Pers bersama beberapa wartawan senior dan akademisi terlibat dalam perumusan Standar Kompetensi Wartawan (SKW) setahun yang lalu, forum dan kelompok kerja tersebut sepakat bahwa bagaimana pun profesi wartawan harus tetap terbuka bagi siapa pun yang ingin menjadi wartawan.

SKW tidak dimaksudkan untuk membatasi, apalagi menjadikan profesi wartawan, jadi tertutup tapi lebih disemangati oleh bagaimana secara terprogram dan komprehensif meningkatkan kualitas dan profesionalisme wartawan.

Hanya sayangnya diskusi bertajuk “Peran dan Fungsi Pers dalam Penguatan Demokrasi” yang digagas oleh Nextlead Indonesia pimpinan Moeslim Abdulrahman barangkali terlupa untuk mengangkat soal SKW yang disahkan Dewan Pers pada 27 Januari 2010. Sehingga, salah seorang pembicara dalam diskusi tersebut seorang praktisi komunikasi dan mantan wartawan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa kualitas wartawan saat ini memprihatinkan. Apalagi dalam konteks pers Indonesia ingin menyelamatkan kehidupan demokratis, maka mutlak harus ada peningkatan kualitas wartawan.

Kualitas wartawan menjadi penting dan sentral dalam melaksanakan tugas dan panggilan serta fungsi pers yang saat ini spektrumnya telah mengalami perubahan dan pengayaan yang bisa saja tidak disadari oleh semua wartawan baik wartawan utama, madya, dan muda, serta calon wartawan dan terlebih lagi mereka yang masuk kategori wartawan abal-abal.

Terabaikannya kualitas wartawan akan membuat praktik jurnalistik menjadi karut marut, meningkatnya delik pers dan tingginya angka pelanggaran kode etik jurnalistik dan pada klimaksnya justru dapat menunculkan fenomena baru yang disebut sebagai “kejahatan media” (media crime).

Standar Kompetensi Wartawan yang dihasilkan Dewan Pers telah menjadi salah satu dari empat bagian yang diratifikasi perusahaan pers pada Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2010 di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Dalam Piagam Palembang itu mengamanatkan tanggungjawab perusahaan pers terhadap empat produk Dewan Pers, yakni Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Kompetensi Wartawan

Kompetensi Wartawan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas wartawan yang memenuhi standar atau ukuran tertentu.

Karena begitu terbukanya profesi wartawan ini, maka muncul kesan begitu mudahnya untuk menjadi wartawan. Modal untuk menjadi wartawan dianggap hanya sebatas kemampuan untuk menulis dengan formula 5W dan 1H (Who, What, When, Where, Why dan How) saja.

Pekerjaan wartawan dianggap hanya sebatas menghadiri suatu acara, meliput suatu peristiwa atau menghadiri perjalanan jurnalistik, sehingga muncul istilah "wartawan salon”, ibarat duduk di “salon” acara dan kembali ke ruang berita redaksi dan memindahkan semua catataan dari "salon" tadi ke komputer atau naskah berita.

Padahal dalam praktik yang memenuhi SKW tidak semudah itu, karena wartawan bukan hanya menulis berita, tetapi ia juga dituntut untuk bisa membuat tulisan yang bersifat mengungkap opini di balik fakta, di balik sumber berita (wawancara eksklusif), dan di balik data yang memberikan pencerahan dan pengayaan pada publik.

Pernah pada periode kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 1970-1980-an, Bidang Pendidikan PWI Pusat memprogramkan perlunya pendidikan tinggi formal bagi para wartawan, sehingga periode ini banyak media massa yang mensyaratkan seorang calon wartawan minimal memiliki pendidikan tinggi Diploma Tiga (D-3) atau Strata Satu (S-1).

Terbukanya profesi wartawan bagi lulusan perguruan tinggi sempat memunculkan istilah IPB menjadi Institut Pers Bogor karena banyak lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi wartawan yang berkualitas bersama dengan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang diplesetkan menjadi Institut Tulis-menulis Bandung.

Meskipun, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), yang dulu disebut Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) kemudian Sekolah Tinggi Publisistik (STP) sebagai penghasil lulusannya yang menjadi wartawan. Dari Jawa Timur ada Akademi Wartawan Surabaya (AWS), yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa - Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS).

Gambaran tadi menunjukkan bahwa untuk dapat menjadi seorang wartawan yang berkualitas diperlukan syarat pendidikan minimal lulusan perguruan tinggi karena mereka umumnya telah dibiasakan dan terbiasa untuk berpikir sistematis, kritis, kreatif, rasional dan obyektif.

Kebiasaan berpikir disiplin itu tadi akan menghindarkan adanya tayangan di media televisi (TV) yang menggemaskan manakala pemirsa TV menyaksikan seorang reporter mewawancarai seorang anggota keluarga penumpang korban pesawat yang jatuh, karena pertanyaannya secara rasional tidak perlu diajukan. “Apa ibu bisa menceriterakan bagaimana berita yang ibu dengar tentang kecelakaan pesawat di mana suami ibu ikut dalam penerbangan tersebut”. Sang Ibu yang diwawancara hanya menjawab bahwa berita yang dia tahu hanya yang ia terima dari hubungan masyarakat (humas) perusahaan penerbangan saja.

Memang modal pendidikan tinggi dan paras cantik atau ganteng saja tidak menjamin, serta bisa menjadi tidak relevan dengan tuntutan kualitas wartawan di lapangan. Untuk menjadi wartawan yang berkualitas tidak cukup hanya dengan memiliki kemampuan riset semata. Kemampuan riset memang diperlukan manakala seorang wartawan sedang mengembangkan penulisan yang tergolong precision journalism yang perlu didukung teknik riset.

Dalam sebuah diskusi panel tentang wartawan dan media massa pada awal tahun 2000-an di Bangkok, Thailand, seorang panelis pernah mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang wartawan yang berkualitas diperlukan minimal modal utama sepasang kaki yag kuat dan pikiran yang sehat. Maknanya adalah bahwa untuk menjadi seorang wartrawan berkualitas diperlukan modal fisik jasmani yang sehat dan jalan atau cara berpikir yang sehat dan rasional.

Pada sebuah lokakarya jurnalistik yang diadakan oleh Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Dili semasa Timor Leste masih disebut sebagai Timor Timur (Timtim), seorang putra daerah setempat bernama Otellio Otte menanyakan kepada instrukturnya, apa saja syarat untuk menjadi seorang wartawan yang berkualitas.

Ia memperoleh jawaban bahwa untuk menjadi seorang wartawan yang berkualitas, seseorang harus memiliki cara berpikir yang sistematis, motivasi dan minat yang tinggi untuk menjadi wartawan, kebiasaan dan budaya membaca yang tidak pernah surut, serta penguasaan bahasa Inggris dan bahkan bahasa asing lain yang memadai.

Motivasi dan minat untuk menjadi wartawan yang bukan karena dipaksa keadaan atau terpaksa menjadi wartawan karena lowongan pekerjaan yang tersedia saat itu hanya peluang menjadi wartawan. Seseorang yang memang memiliki motivasi (tujuan) dan minat untuk benar-benar menjadi wartawan dengan sendirinya akan menyiapkan dan membekali dirinya untuk menjadi wartawan.

Seseorang yang memang bertujuan untuk menjadi wartawan akan senantiasa terdorong untuk mengejar karier jurnalistik yang sebaik-baiknya dan setinggi-tingginya.Dorongan dari dalam diri seorang wartawan yang memiliki motivasi dan minat akan memacu seseorang untuk menjadi wartawan yang berorientasi pada karya jurnalistik yang berkualitas.

Menjadi wartawan disadari sebagai panggilan tugas dan profesi yang dipilih dan ditekuninya. Kesadaran dan minat seseorang yang bulat untuk menjadi wartawan sebagai pilihan profesinya membuat wartawan itu akan terus menempa dan meningkatkan kualitas dirinya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Penghasilan sebagai wartawan tidak akan mempengaruhi panggilan profesi seseorang yang memang menjadi wartawan karena memiliki tujuan dan minat.

Kebiasaan dan atau budaya membaca merupakan modal utama bagi seseorang yang tidak bisa ditawar lagi, jika ia ingin dikategorikan sebagai wartawan yang berkualitas. Bisa dibayangkan bagaimana proses masukan (input) dan keluaran (output) dikaitkan dengan adanya kebiasaan atau kegemaran seseorang, apalagi dikaitkan dengan kualitas dan kuantitas pengetahuan seseorang. Dan kita bisa menakar seberapa penguasaan pengetahuan seorang wartawan yang kurang gemar membaca dibandingkan dengan mereka yang gemar membaca.

Dengan banyak membaca, maka dengan sendirinya akan memperluas cakrawala pemikiran dan cara pandang seseorang dalam melihat dan memahami suatu obyek liputan jurnalistik yang oleh pakar komunikasi era 1960 an disebut sebagai field of experience dan point of reference.

Modal lain untuk bisa dikatakan wartawan yang berkualitas adalah penguasaan bahasa Inggris yang dianggap memadai dan mampu untuk melaksanakan tugas jurnalistik, dalam artian sebagai seorang wartawan harus aktif berbahasa Inggris karena dengan demikian ia mampu untuk menyamnpaikan pertanyaan kepada sumber berita dan dipahami serta di lain pihak ia juga mampu mengartikan apa jawaban yang disampaikan sumber beritanya yang disampaikan dalam bahasa Inggris.

Karena itu, upaya Dewan Pers membakukan SKW bagaimanapun perlu diapresiasi sebagai upaya terprogram untuk meningkkatkab kualitas wartawan Indonesia karena SKW itu rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek kesadaran, pengetahuan, keterampilan/keahlian, selain sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.

Penekunan profesi sebagai wartawan secara sungguh-sungguh dengan latar belakang motivasi, minat, kebiasaan membaca, pemikiran kritis rasional ditunjang dengan penguasaan bahasa Inggris akan menempa seseorang bukan saja menjadi wartawan yang berkualitas tetapi tanpa disadari memberikan kemampuan lain selain kemampuan menulis.

Kita perlu ingat seorang bernama Ivy Lee adalah seorang anak menteri di negara bagian Georgia, Amerika Serikat (AS), yang menamatkan pendidikan tingginya di Princeton University AS sebelum tahun 1900. Ia memilih bekerja sebagai wartawan atau seorang reporter sebuah suratkabar AS dengan gaji yang kecil. Lima tahun menjadi reporter pekerjaan itu ditinggalkannya tahun 1906.

Pada tahun yang sama ia mendapat penugasan untuk menjadi Petugas Hubungan Masyarakat (Public Relations/PR) bagi Pensnsylvania Railroad Company ketika perusahaan kereta-api itu mengalami kecelakaan yang cukup besar. Dan penugasan sebagai Humas ini yang membawa seorang Ivy Lee kini dikenal sebagai Bapak Humas di seluruh dunia.

Bagaimana pun profesi wartawan sebagai profesi yang terbuka bagi siapa pun yang ingin menjadi wartawan, jika dijaga tetap berada dalam koridor wartawan yang berkualitas atau memenuhi Standar Kompetensi Wartawan.

Jika ditekuni, maka SKW juga akan membukakan peluang bagi pemilikan profesi baru di luar profesi wartawan seperti profesi sebagai penulis buku, penulis naskah pidato, pejabat humas, pengajar komunikasi atau jurnalistik, analis informasi publik dan agen intelijen. Semua profesi ini terlahir dengan dasar kemampuan kewartawanan dan dapat dianggap sebagai “produk profesi turunan” wartawan.

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010