Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengatakan ke depan Indonesia harus menyusun ide bersama mengenai pemberantasan korupsi yang lebih sistemik.

"KPK selama ini tidak ada kontrol dan tidak sesuai dengan semangat awal pembentukannya. Karena itu, dikhawatirkan lembaga ini justru mengambil jalan pintas daripada negara hukum," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Fahri berpegang kepada Prof Romli sebagai Ketua Tim Penyusun Undang-Undang KPK dan Prof Andi Hamzah sebagai Tim Ahli. Keduanya sangat senang adanya perubahan Undang-Undang KPK mengingat cara kerja lembaga antirasuah itu selama ini di luar harapan pakar penyusun UU KPK.

"Birokrasinya tidak diperkuat, dibimbing dan ditata. Tapi justru sensasi geger-gegeran. Di situlah masalahnya. Demokrasi terancam," kata Fahri.

Baca juga: KPK sebut berita acara rakor tindak lanjut hasil TWK sesuai aturan

Pendiri Setara Institute Hendardi mendorong ke depan dilakukan perbaikan sistemik menyangkut keuangan negara, dimana KPK menjadi bagian penyelamatan dengan pemberantasan korupsi.

"Hal-hal yang terkait permainan politik atau respons-respons politik terkait polemik 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK harus diakhiri, karena tidak sehat buat publik," ujar dia.

Seringkali ada manipulasi atau pernyataan tendensius dari kelompok 51 pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan yang menyebut tanpa mereka kasus-kasus besar tidak akan bisa dibongkar, kata dia.

"Saya kira itu hanya kekonyolan saja. Karena kasus besar di manapun memang selalu terkait kekuasaan dan partai politik," ujarnya.

Sementara itu, pengamat isu-isu strategis nasional Prof Imron Cotan mengatakan polemik tes wawasan kebangsaan di KPK adalah peristiwa hukum.

Baca juga: Pakar: TWK untuk uji kompetensi sosial-kultural pegawai KPK

Jika dianggap tidak memenuhi syarat, ia menyarankan untuk disalurkan atau dibawa ke jalur hukum sesuai ketentuan yang ada.

Misalnya ke Ombudsman kalau merasa ada maladministrasi, kemudian juga bisa dibawa ke pengadilan bila ada unsur pidana atau ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Langkah itu akan lebih baik dari pada membawa masalah itu ke Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komnas HAM.

Dampaknya, masyarakat akan terpecah sehingga timbul kontroversi. Padahal, Indonesia sedang mengalami pandemi COVID-19 yang semakin parah.

Sebagai satu kesatuan bangsa, Prof Imron meminta semua pihak bersatu padu menyelesaikan berbagai persoalan strategis dibanding hanya berkutat dengan persoalan 51 pegawai KPK yang tidak lulus tersebut.

Baca juga: Pakar: Kehadiran pimpinan KPK tepis isu penyingkiran 75 pegawai

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021