Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 tidak hanya mendatangkan masalah penyakit dan kesehatan tapi juga sampah medis, terutama alat pelindung diri (APD), baju hazmat, faceshield dan masker medis bekas pakai.

Saat ini Indonesia menghadapi masalah limbah medis sebagai ikutan peningkatan kasus COVID-19 yang jumlahnya terus meningkat, baik di fasilitas layanan kesehatan maupun di masyarakat luas.

Jika tidak dikelola dan diolah dengan baik, maka limbah medis akan menjadi permasalahan sampah baru yang mencemari lingkungan.

Oleh karena itu, perlu penanganan khusus limbah medis COVID-19 dengan menggunakan ragam teknologi.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempunyai beberapa teknologi pengolahan dan daur ulang limbah untuk menanggulangi masalah limbah medis COVID-19.

Teknologi tersebut antara lain alat pengolah jarum suntik, Plasma Exhaust Gas untuk insinerator, daur ulang limbah masker dengan metode ekstruksi dan rekristalisasi, dan teknologi autoklaf suhu rendah.

Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI Ajeng Arum Sari mengatakan Alat Penghancur Jarum Suntik (APJS) mampu meleburkan bahan baja (stainless steel) jarum suntik yang bertitik lebur 1.200 derajat Celcius menjadi serbuk.

APJS dapat menghancurkan jarum suntik menjadi serbuk dalam waktu 10 detik untuk setiap satu jarum suntik.

Alat itu memanfaatkan panas tinggi yang ditimbulkan akibat gesekan pada saat proses penghancuran secara mekanis sehingga menghasilkan serbuk yang sudah steril.

Alat bekerja dengan memutar batu gerinda yang ada dalam APJS dengan menggunakan suatu penggerak dari motor listrik dengan daya sebesar 100 Watt pada tegangan kerja 220 Volt.

Alat tersebut dirancang portable (mudah pindah) dan dapat digunakan oleh praktisi medis dengan aman dan mudah dioperasikan.

Alat berdimensi panjang 250 mm (millimeter), lebar 120 mm, tinggi 200 mm itu terbuat dari bahan aluminium cord dan telah memiliki paten dan terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI dengan nomor S0020050055.

APJS memiliki keunggulan yakni waktu menghancurkan jarum suntik cepat dan serbuk stainless steel yang dihasilkan sudah steril.

LIPI bekerja sama dengan mitra yaitu PT Gerlink Utama Mandiri untuk menghasilkan alat tersebut.

Baca juga: Limbah medis dan penanganan darurat di era pandemi

Baca juga: LIPI ubah limbah masker jadi produk bernilai tambah


Tanpa emisi

Sementara, dengan teknologi Plasma Exhaust Gas untuk insinerator, polutan seperti gas dioxin, furan, volatile organic compounds (VOC), Nitrogen oksida (NOx), Sulfur oksida (SOx) dapat dihilangkan sehingga insinerator tidak menghasilkan asap dan bau. Dengan demikian, pencemaran lingkungan dapat dihindari.

Ajeng menuturkan reaktor Non-Thermal Plasma (NTP) dapat menguraikan dan menghilangkan kandungan senyawa polutan seperti dioxin, furan, VOC, NOx dan SOx yang terkandung dalam asap gas buang.

Reaktor NTP berguna untuk mengolah asap gas buang dari insinerator sehingga dapat menciptakan green incinerator yang ramah lingkungan.

Unit plasma reaktor tersebut dapat diinstal pada insinerator yang sudah terpasang. Pengoperasiannya tergolong sederhana dan perawatannya mudah. LIPI bermitra dengan PT PCI untuk menghasilkan alat tersebut.

Berdasarkan data dari berbagai jurnal internasional, inaktivasi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dapat dilakukan dengan metode termal pada suhu minimal 56 derajat Celsius selama 30 menit.

Oleh sebab itu, LIPI mengembangkan teknologi autklaf bersuhu rendah dengan kapasitas 200 L/jam.

Alat tersebut ramah lingkungan tanpa emisi pencemaran udara, portabel, menggunakan bahan bakar Liquefied Petroleum Gas (LPG), serta mudah dioperasikan.

Alat dengan teknologi autklaf bersuhu rendah itu dirancang khusus untuk sterilisasi sampah COVID-19 yang masih terbungkus di dalam kantong plastik tertutup sehingga sampah tersebut tidak akan tersentuh oleh operator, dan hasil sterilisasi sudah aman dari COVID-19.

Limbah yang dapat diolah dengan alat tersebut adalah limbah APD dan sisa makanan.

Baca juga: Menperin jajaki industri semen untuk kelola limbah medis

Baca juga: Indonesia hasilkan teknologi olah dan daur ulang limbah medis COVID-19


Daur ulang

Selain itu, LIPI mengembangkan teknologi daur ulang limbah medis COVID-19 dengan metode ekstruksi dan rekristalisasi.

Proses daur ulang limbah plastik dengan rekristalisasi meliputi pemotongan plastik, pelarutan plastik, pencampuran dengan anti pelarut, pengendapan pada anti pelarut, serta pemisahan pelarut dan anti pelarut.

Dengan metode rekristalisasi, dapat diperoleh kembali suatu plastik murni tanpa degradasi yang memiliki manfaat dan fungsi sebagai plastik dengan kualitas serupa.

Sejumlah jenis plastik limbah medis yang dapat didaur ulang menggunakan metode rekristalisasi mencakup antara lain jenis plastik polietilena (PE), polipropilen (PP), polivinil klorida (PC), dan Polistirena (PS).

Sedangkan metode ekstruksi digunakan untuk mendaur ulang limbah medis berupa masker medis sekali pakai.

Pentingnya penggunaan masker medis sekali pakai untuk mencegah penularan COVID-19 menyebabkan kebutuhan dan pemakaian produk tersebut di masyarakat luas dan di fasilitas layanan kesehatan bertambah signifikan, dan berimbas pada melonjaknya timbulan limbah medis.

Sebagai contoh, jika 40 persen dari total penduduk Indonesia yang sebanyak 270 juta jiwa memakai masker medis sekali pakai sebanyak satu kali dalam sehari berarti ada 108 juta masker medis bekas pakai yang menjadi sampah per harinya.

Peneliti LPTB LIPI Akbar Hanif Dawam Abdullah mengatakan masker sekali pakai yang banyak digunakan selama masa pandemi COVID-19 adalah berbahan plastik, dan jenis yang banyak ditemui adalah polipropilen.

Plastik dibuat dari minyak bumi yang tergolong sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Jika minyak bumi habis maka kemampuan memproduksi plastik juga habis.

Masalah lainnya, plastik merupakan bahan yang tidak dapat terurai. Bahkan dalam waktu 100 tahun pun, plastik yang terbuang ke tanah akan tetap dalam bentuk plastik sehingga sangat mencemari lingkungan.

Oleh karenanya, pengolahan sampah masker medis itu harus diintervensi bahkan sebelum sampai ke tempat pemrosesan akhir agar bisa teratasi dengan jauh lebih baik. Jika hanya berakhir di tempat pemrosesan akhir, maka hanya akan menjadi gunung sampah jika sudah terakumulasi dalam jangka waktu tertentu.

Solusi daur ulang dengan metode ekstrusi mampu mengolah limbah masker medis menjadi produk-produk yang bermanfaat seperti pot hidroponik, bak sampah, dan kantong sampah.

Menurut Dawam, teknologi daur ulang limbah masker tersebut berlangsung dalam beberapa tahapan yaitu sterilisasi, ekstrusi, dan pencetakan.

Proses ekstrusi akan menghasilkan pelet atau bijih plastik yang dapat dibentuk menjadi benda apapun sesuai dengan keinginan.

Selain itu, biji plastik juga bernilai ekonomi karena merupakan bahan baku industri plastik.

Dengan pemanfaatan teknologi tersebut, maka dapat mengurangi jumlah timbulan limbah masker dan menambah nilai ekonomi limbah masker.

Diharapkan, sejumlah teknologi tersebut dapat diterapkan dan dimanfaatkan secara masif dan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat dan industri sehingga limbah medis COVID-19 dapat tertangani dengan baik.*

Baca juga: BRIN kembangkan teknologi pengolah limbah medis mobile

Baca juga: Ketua DPD RI ingatkan buang limbah infeksius COVID-19 secara benar

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021