Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus serius mewaspadai ancaman dari melambungnya harga minyak yang kini hampir menembus 100 dolar AS per barel karena ada keterkaitan antara kenaikan harga minyak dengan krisis pangan.

"Kerusuhan politik di negara-negara Afrika dan Amerika Selatan dewasa ini juga tidak semata dipicu oleh merebaknya korupsi, tapi juga krisis energi dan pangan," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin di Jakarta, Senin.

Effendi mengingatkan, selain krisis dalam bentuk kerusuhan politik, ancaman juga datang dari merosotnya produksi lahan-lahan pertanian di Vietnam, Thailand, dan negara-negara pertanian lainnya.

Ini berakibat pada terganggunya ketersediaan pangan dunia. "Belum lagi adanya ramalan tentang krisis pangan permanen sebagai dampak dari perubahan iklim global," ujarnya.

Ia menegaskan, ancaman krisis energi dewasa ini memang sudah mengerikan. Effendi menghitung dalam kurun waktu 5-20 tahun ke depan, konsumsi minyak dunia diperkirakan tembus ke kisaran 120-130 juta barel per hari (bph). Sedangkan produksi puncak minyak dunia diprediksi hanya 105-110 juta bph. "Artinya, akan terjadi defisit 15-20 juta bph," tuturnya.

Menjadi persoalan, karena realisasi diversifikasi energi yang dicanangkan berbagai negara, termasuk Indonesia, tidak akan mampu menggantikan produksi minyak dunia.

Sekalipun ada panas bumi, tenaga angin, tenaga surya, gas, dan lain-lain, tapi jumlahnya terbatas. Pengembangan energi nuklir juga butuh waktu 10-20 tahun. "Kalau ditotal, masih belum mampu menggantikan minyak dan menyuplai kebutuhan energi dunia."

Dalam kondisi seperti itu, Effendi meyakini bahwa pada 10 tahun mendatang negara-negara OPEC sekalipun sudah tidak bisa mengekspor minyaknya, karena kebutuhan dalam negeri juga meningkat.

"Negara yang punya uang banyak juga tidak bisa membeli minyak, karena tidak ada barang yang tersedia di pasar untuk dibeli," imbuh Effendi.

Ia mengingatkan Indonesia, hanya memiliki waktu 5-10 tahun untuk membuat terobosan ekonomi dan politik yang berani untuk mengatasi problem kelangkaan energi dan krisis pangan dunia. Langkah pertama adalah mengamankan sumber daya migas yang selama ini dikuasai asing.

Sebagai gambaran, Indonesia saat ini defisit minyak sekitar satu juta bph. Kemampuan produksi kita hanya 950 ribu bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,4 juta bph.

Defisit itu akan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan laju petumbuhan konsumsi dan penurunan produksi. Angka defisit itu bisa mencapai 3 juta bph pada 2015 dan 5 juta bph pada 2020.

"Rakyat menunggu keberanian pemerintah melakukan langkah politik yang lebih konkret menghadapi ancaman krisis energi dan pangan yang sudah di depan mata," katanya.

Dengan semakin besarnya ancaman krisis energi, menurut Effendi, sumber daya migas harus berada di bawah kontrol negara, lantaran menyangkut urusan ekonomi dan stabilitas.

"Kontrak asing yang sudah mau habis, tidak perlu diperpanjang. Dengan begitu kita bisa menabung cadangan minyak negara," ujarnya.

Beberapa terobosan lain yang diperlukan, yakni melakukan langkah-langkah realisasi dari pembauran energi (energy mix) 2005-2025, lalu percepat pencapaiannya. Caranya, berikan insentif untuk semua diversifikasi energi, termasuk batu bara, gas dan panas bumi, semisal dengan memberikan keringanan pajak. (*)

(T.F004/S004)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011