tren kebakarannya lebih banyak di daerah savana
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan adanya tren penurunan terjadinya kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan konservasi Indonesia sejak tahun 2019 hingga tahun 2021.

“Terkait dengan kebakaran hutan di kawasan konservasi, kami coba analisa dari 2019 sampai 2021. Ternyata khusus kawasan konservasi ini untuk tahun 2019 itu 51 persen lebih banyak di lahan-lahan garapan pertanian di area terbuka tadi,” kata Kepala Subdit Pengendalian Pengelolaan Kawasan Konservasi Direktorat Jenderal KSDAE KLHK Hendra Wijaya dalam webinar Sinergitas Upaya Pengendalian Karhutla dalam Rangka Mendukung Implementasi NDC Indonesia yang diikuti di Jakarta, Senin.

Hendra menjelaskan bila melihat persentase pada areal pertanian lahan kering, dapat terlihat bahwa ada aktivitas manusia yang tinggi seperti pembersihan lahan, telah memicu terjadinya kebakaran hutan.

Selain kawasan pertanian lahan kering, pada tahun 2019 sebesar 15 persen kebakaran juga terjadi di semak belukar rawa dan 12 persen terjadi di savana yang ada di area konservasi.

Baca juga: KLHK perkuat tiga strategi cegah kebakaran hutan dan lahan
Baca juga: KLHK catat 2 ribu hektare lahan di Sumsel terbakar selama 2021


Ia mengatakan, memasuki tahun 2020, proporsi areal bekas kebakaran (burnt area) mengalami perbedaan di mana sebesar 48 persen terjadi di kebun campur, 26 persen terjadi di lahan terbuka sementara 10 persen terjadi di rawa.

Hendra menuturkan, pemicu terjadinya kebakaran di kebun campur adalah tingginya aktivitas manusia pada saat berkebun.

Tren pada kebakaran di kawasan konservasi, kata dia, kembali berubah pada tahun 2021. Pada saat ini areal kebun campur dan lahan terbuka tidak lagi menjadi areal dengan kebakaran hutan dan lahan terbesar seperti 2020.

Menurut data yang KLHK miliki, kebakaran di tahun 2021 justru paling banyak terjadi di savana dan semak belukar dengan persentase masing-masing sebesar 27 persen. Dilanjutkan dengan lahan pertanian kering sebesar 19 persen.

“Kita lihat untuk 2021, kebetulan kami juga dari tim monitoring hotspot, ternyata dari 2021 sampai kemarin, tren kebakarannya lebih banyak di daerah savana dan semak belukar. Memang kami memantau juga di hotspot. Biasanya satu hari besok sudah hilang,” kata dia.

Kebakaran itu, disebabkan oleh adanya material seperti rumput yang menyebabkan mudah menimbulkan kebakaran, hujan yang tidak turun dalam waktu yang cukup lama dan tutupan lahan berupa savana dan semak belukar.

Wilayah yang tertutup tersebutlah yang membuat kejadian kebakaran menjadi cukup tinggi dan berulang. Hendra memberikan contoh seperti yang pernah terjadi di Taman Nasional Tambora, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Rinjani.

Baca juga: Kementerian LHK ajak masyarakat cegah Karhutla
Baca juga: Sahroni mengapresiasi terobosan Polri tanggulangi karhutla


Lebih lanjut dia menegaskan, kebakaran-kebakaran itu terjadi akibat faktor manusia terutama terkait dengan pemebrsihan lahan dan motif perburuan.

Meskipun KLHK terus memperhatikan dan mengawasi kondisi daratan mulai dari lahan datar hingga lahan dengan topografi yang sulit seperti daerah gambut, Hendra berharap seluruh lapisan masyarakat dapat bekerja sama dan selalu bertanggung jawab dengan aktivitas yang dilakukan di kawasan alam Tanah Air agar tidak terjadi kebakaran hutan maupun lahan.

“Keterlibatan semua pihak termasuk ada mitra-mitra LSM perlu ditingkatkan dalam upaya-upaya pengendalian kebakaran,” ucap dia.

Baca juga: ASAP Digital, upaya Polri percepat penanggulangan karhutla
Baca juga: Mendagri terbitkan SE terkait anggaran penanganan Karhutla daerah
Baca juga: BRGM gencar bangun sumur bor di Jambi cegah karhutla


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021