Anak-anak yang terlahir di negara dengan pendapatan rendah dan menengah yang akan menanggung beban kerugian dan kerusakan kesehatan.
Jakarta (ANTARA) - Gelaran tahunan Konvensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia, tiba waktunya. Pandemi COVID-19 pada akhirnya tidak bisa menahan terlalu lama konferensi yang tertunda itu.

“Glasgow” punya beban berat, untuk menghasilkan sesuatu yang konkret guna menyelamatkan masa depan seisi Bumi.

Sedikit menyegarkan ingatan, para ilmuwan dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah memproyeksikan meski komitmen kolektif negara-negara para pihak yang meratifikasi Paris Agreement dalam dokumen kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditetapkan secara nasional (NDC) telah diperbarui, tetap akan menaikkan suhu Bumi 2,7 derajat Celsius.

Dengan skenario pada level apa pun—ambisius maupun tidak ambisius—yang masyarakat global lakukan, penghangatan suhu di Bumi tetap akan berlangsung di abad 21 ini. Sekalipun upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dinaikkan ke level ambisius oleh semua negara para pihak, temperatur diproyeksikan tetap akan meningkat di atas 2 derajat Celsius.

Artinya, mereka yang bernegosiasi di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB Ke-26 di Glasgow nanti tidak cukup lagi hanya berbicara soal menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi harus memikirkan bagaimana agar masyarakat selamat dari banjir bandang, bagaimana mereka selamat dari longsor, bagaimana mereka lolos dari gelombang panas.

Bagaimana mereka selamat dari badai tropis, bagaimana mereka dapat bertahan dari kekeringan, bagaimana mereka dapat bertahan dari hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi sumber hidup pada masa depan.

 

Tangkapan layar suasana pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau COP26 yang diadakan di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021). ANTARA/Virna P. Setyorini


Laporan Born Into Climate Crisis yang Save the Children keluarkan secara global September 2021, hasil analisis dari pemodelan terbaru yang dilakukan tim internasional peneliti-peneliti iklim yang dipimpin Kepala Grup BCLIMATE di Vrije Universiteit Brussel (VUB) Prof. Dr. Win Thiery menemukan bahwa di bawah janji Paris Agreement, seorang anak yang lahir pada tahun 2020 rata-rata akan mengalami risiko dua kali lebih banyak kebakaran hutan, 2,8 kali lebih banyak menghadapi gagal panen, 2,6 kali lebih banyak merasakan kekeringan, 2,8 kali lebih banya menghadapi banjir, 6,8 kali lebih banyak merasakan gelombang panas dalam hidup mereka, dibandingkan mereka yang lahir pada tahun 1960-an.

Anak-anak yang terlahir di negara dengan pendapatan rendah dan menengah yang akan menanggung beban kerugian dan kerusakan kesehatan dan sumber daya manusia, tanah, warisan budaya, kearifan lokal dan masyarakat adat, dan keanekaragaman hayati sebagai akibat dari perubahan iklim.

Pemodelan tersebut bagaimanapun menemukan masih ada kesempatan dan juga kebutuhan mendesak untuk melakukan aksi, membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius di atas level praindustrial akan mengurangi paparan tambahan bagi bayi yang baru lahir dari gelombang panas hingga 45 persen, kekeringan 39 persen, banjir bandang hingga 38 persen, gagal panen hingga 28 persen, dan kebakaran hutan hingga 10 persen.

Dengan cara itu akan lebih banyak anak di dunia memperoleh haknya untuk mendapatkan pelayanan, kebutuhan dasar, kesempatan berpartisipasi dan masa depan. Kepemimpinan dalam aksi iklim bagian dari tanggung jawab negara-negara berpenghasilan tinggi, khususnya untuk pendanaan dan adaptasi, juga akan memberikan hasil kembali yang berlipat ganda bagi aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Berinvestasi 1,8 triliun dolar AS secara global di lima kunci area adaptasi perubahan iklim dalam periode 10 tahun dapat menghasilkan total keuntungan bersih 7,1 triliun dolar AS. Namun, siapa yang berani berinisiatif mengawali investasi itu?

 

Komitmen Pemimpin Dunia

Entah mengarah ke mana angin politik iklim kali ini. Bagi mereka yang telah lama mengikuti konferensi tahunan UNFCCC itu, harapan mungkin terasa semu karena mengetahui negosiasi dalam ruang-ruang tertutup di setiap putaran perundingan iklim sering kali hanya menemukan jalan buntu.

Tentu saja itu terjadi. Karena bukan para negosiator yang memegang kendali, keputusan politik iklim pada akhirnya ada di tangan pemimpin negara dan kepala pemerintahan dunia.

Tahun keenam dari usia Paris Agreement telah menjadi tahun terpanas dalam enam tahun terakhir dalam catatan. Adiksi pada bahan bakar fosil membenturkan kemanusian ke tembok sehingga perlu membuat pilihan, mau menghentikan menggunakannya atau justru sebaliknya.

 

Tangkapan layar Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterres berbicara pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau COP26 yang diadakan di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021). ANTARA/Virna P. Setyorini
 

Seperti kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guitteres, pengumuman aksi iklim baru-baru ini mungkin memberi impresi bahwa sudah pada jalur yang tepat untuk mengubah semuanya. Itu adalah ilusi.

Negara-negara G20, kata Guitteres, menjadi yang paling bertanggung jawab karena menyumbang 80 persen emisi global. Negara maju harus memimpin upaya tersebut. Namun, emerging country juga harus membuat langkah ekstra karena kontribusi mereka esensial untuk pengurangan emisi yang efektif.

"Kita butuh ambisi maksimum dari semua negara untuk membuat 'Glasgow' sukses," ujar dia.

Kalimat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Pemimpin Dunia di Glasgow, Skotlandia, yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (1/11), sangat jelas di hadapan para pemimpin negara dan kepala pemerintahan. "Jika kita tidak serius tentang perubahan iklim hari ini, akan terlambat bagi anak-anak kita untuk melakukannya besok."

Ia mencoba meyakinkan mereka, negara maju, untuk bertanggung jawab membantu yang lain agar bisa mengurangi emisi GRK dengan menonaktifkan "teknologi mesin uap" yang menghasilkan energi dari hasil pembakaran batu bara, yang 250 tahun lalu diciptakan inventor kenamaan Britania Raya James Watt.
 

Tangkapan layar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau COP26 yang diadakan di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021). ANTARA/Virna P. Setyorini
 

Negara industrialisasi yang telah mengabaikan masalah yang mereka ciptakan selama 200 tahun terakhir sekarang mempunyai tugas mencari dana iklim seperti yang dijanjikan dalam Paris Agreement, 100 miliar dolar AS per tahun hingga 2030.

Meski COP26 tidak dapat mengakhiri perubahan iklim, harus menandai awal dari akhir, kata Johnson. Akan berat namun bisa dilakukan.

"Apakah ini bagaimana cerita kita berakhir? Cerita tentang bagaimana spesies tercerdas berakhir oleh karakteristik manusia yang gagal melihat potret besar untuk mengejar tujuan jangka pendek," kata naturalis Inggris Sir David Frederick Attenborough.

Manusia merupakan pemecah masalah terbesar yang pernah ada di muka Bumi, tahu bagaimana menghentikan masalah itu, tahu bagaimana menyetop peningkatan angka konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini yang mencapai 414 bagian per juta (ppm).

"Itu alasan dunia melihat padamu. Dan mengapa kamu ada di sini," kata Attenborough kepada para pemimpin negara dan kepala pemerintahan yang hadir pada pembukaan COP26.

Jika bekerja secara terpisah, manusia cukup kuat untuk mengacaukan Bumi. Maka, dengan sangat yakin bekerja bersama manusia cukup kuat untuk menyelamatkannya.

Baca juga: Indonesia angkat tema "Leading Climate, Actions Together" di COP26

Baca juga: Pertamina dukung target pengurangan emisi karbon Indonesia


Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021