Tetapi harapan itu tidak terkubur
Yogyakarta (ANTARA) - Sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Roma, Italia, yang berakhir pada Minggu (31/10).

Sebagian dari mereka melanjutkan ke KTT Pemimpin Dunia COP26 (Conference of Parties) di Scottish Event Campus (SEC), Skotlandia, 1-2 November.

Tujuan dua KTT itu sebenarnya sederhana, tetapi dampaknya bagi Bumi ini luar biasa. Para pemimpin negara itu bersama-sama mencari strategi untuk mencegah pemanasan Bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celcius pada akhir dasawarsa ini.

Bumi diantisipasi agar tidak mengalami kenaikan suhu melampaui 2,7 derajat Fahrenheit (1,5 derajat C) yang diperkirakan bisa terjadi antara 2032 hingga 2039. Planet ini diperkirakan melampaui patokan 3,6 derajat F (2 derajat C) antara tahun 2050 hingga 2100.

Antisipasi itu tertuang dalam Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang ditandatangani pada 2016. Persetujuan ini merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016.

Walau "hanya" 1,5 derajat Celcius, tetap saja mencemaskan bagi penghuni Bumi ini. Wajar saja jika kepala negara dan kepala pemerintahan serius mencari strategi, meskipun jalan ke arah itu tidaklah mulus.

Sebenarnya, apa dampak di masa depan jika penambahan panas Bumi ini melampaui 1,5 derajat Celcius? Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB mengeluarkan prediksinya beberapa waktu lalu.

Dari prediksi itu terlihat dampak utama adalah gelombang panas yang akan sering terjadi. Suhu maksimal di beberapa daerah akan meningkat 3 derajat Celsius jika iklim menghangat 1,5 derajat C. Kemudian naik 4 derajat jika pemanasan global mencapai 2 derajat Celcius. Bisa dibayangkan bilamana suhu harian di tempat kita bertambah 3 derajat Celcius? Bertambah panas tentunya.

Dampak pemanasan global berikutnya adalah lebih banyak hujan di wilayah lintang yang lebih tinggi, utara, dan selatan khatulistiwa, serta di daerah tropis dan beberapa zona muson. Curah hujan di zona sub-tropis kemungkinan akan menjadi lebih jarang, meningkatkan momok kekeringan. Daerah rawan kekeringan, musim kering dua kali lebih mungkin terjadi di dunia dengan suhu 1,5 derajat C, dan empat kali lebih mungkin jika suhu naik 4 derajat C.

Baca juga: Presiden Jokowi sampaikan komitmen tangani perubahan iklim di COP26

Dampak kekeringan antara lain 7-10 persen lahan pertanian tidak akan lagi bisa ditanami. Hasil panen juga diprediksi menurun, dengan panen jagung di zona tropis diperkirakan turun tiga persen di dunia yang lebih hangat 1,5 derajat C dan tujuh persen jika kenaikan 2 derajat C.

Prediksi lainnya, jika pemanasan global mencapai 2 derajat C, permukaan air laut akan naik sekitar setengah meter selama abad ke-21. Permukaan air laut akan terus meningkat hingga hampir dua meter pada tahun 2300. Artinya apa? Banyak pulau tenggelam bilamana permukaan air laut terus naik.

Prediksi lain menyebutkan semua dampak pemanasan global ini memengaruhi kelangsungan hidup tumbuhan dan hewan di seluruh Planet Bumi. Pemanasan global pada tingkat 1,5 derajat C berdampak negatif pada tujuh persen ekosistem. Kemudian pada 2 derajat Celcius , angka itu hampir dua kali lipat. Peningkatan 4 derajat C akan membahayakan setengah dari spesies di planet ini.

Dari beberapa prediksi itu, dampak pemanasan global memang mencemaskan. Maka dari itu, dilakukan berbagai upaya serius untuk menghentikan suhu Bumi agar tidak terus memanas.

Sedikit Kemajuan

Sayangnya, hasil KTT di Roma dengan topik perubahan iklim, energi, dan lingkungan hidup ini tidak menunjukkan kemajuan signifikan. Meski para pemimpin mengatakan akan tetap berpegang pada tujuan mencegah pemanasan Bumi hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, tidak ada batasan waktu spesifik yang ditetapkan untuk mencapai netralitas karbon.

Hal ini pun meninggalkan pekerjaan besar bagi para pemimpin dunia dan figur penting yang bertemu di KTT Perubahan Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Presidensi G-20 Mario Draghi mengatakan bahwa tanpa multilateralisme, upaya menangani krisis iklim akan stagnan. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan kekecewaannya atas hasil yang tidak maksimal dari pertemuan puncak pemimpin 20 negara ekonomi terbesar tersebut.

"Sementara saya menyambut komitmen G-20 untuk solusi global, saya meninggalkan Roma dengan harapan saya yang belum terpenuhi. Tetapi harapan itu tidak terkubur karena selanjutnya masih ada kesempatan di COP26 di Glasgow untuk menjaga tujuan 1,5 derajat tetap hidup, dan untuk mengimplementasikan janji keuangan, serta adaptasi untuk manusia dan planet," cuit Guterres melalui Twitter-nya.

Harapan ada di Glasgow. Indonesia menegaskan komitmennya di Glawgow ini. Kata Presiden RI Joko Widodo, saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.

“Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11).

Baca juga: Ratu Elizabeth desak pemimpin dunia beraksi atasi pemanasan global

Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai merehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare hingga 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi tiga juta lahan kritis antara 2010-2019.

“Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya pada tahun 2030,” imbuhnya.

Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara.

Selain itu, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

Bagaimana komitmen negara lain? Setidaknya sejumlah negara maju berjanji untuk memberikan dana bagi perbaikan iklim. Inilah hasil nyata dari KTT COP26.

Banyak pihak berharap, janji itu sungguh-sungguh direalisasikan agar pemanasan Bumi bisa ditekan.

Baca juga: Peneliti: anak muda berperan dukung upaya kurangi emisi gas rumah kaca
Baca juga: BRGM terapkan strategi 3R, dukung komitmen RI kurangi gas rumah kaca
Baca juga: BRIN dorong terbentuknya repositori data mangrove Indonesia

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021