Apa pun dari perbuatan yang dilakukan ada konsekuensinya.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Supardi, Rabu, memperingatkan pihak-pihak yang dimintai keterangan sebagai saksi dalam sebuah perkara pidana, apabila tidak mau memberikan keterangan ada konsekuensinya.

Peringatan itu merujuk pada tujuh orang yang ditersangkakan karena menghalangi penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019, Selasa (2/11) malam.

"Apa pun dari perbuatan yang dilakukan ada konsekuensinya," kata Supardi.

Supardi menjelaskan, ketujuh tersangka tersebut tidak bersedia memberikan keterangan. Disangkakan dengan Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

"Pasal 21 atau Pasal 22 itu juga pasal korupsi toh. Intinya Pasal 21 itu menghalang-halangi penyidikan, Pasal 22 itu tidak mau memberikan keterangan," kata Supardi.

Menurut Supardi, ketujuh tersangka ini dengan berbagai alasan tidak mau memberikan keterangan terkait apa yang dilihatnya, didengarkannya, dan dialaminya.

Ketujuhnya datang sebagai saksi ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung, tetapi tidak memberikan keterangan dengan berbagai alasan, seperti belum ada kerugian negara, belum ada tersangka, dan alasan lain yang tidak logis.

"Jadi tidak mau memberikan keterangan apa yang dia lihat, dia dengar dan dia alami," kata Supardi.

Untuk pertama kalinya penyidik Kejagung menerapkan Pasal 21 dan Pasal 22. Menurut Supardi, hal ini sebagai peringatan agar tidak ada pihak lainnya melakukan hal serupa.

"Pesan saya, ketika ada proses hukum, ayo bantu kami sampaikan apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Karena kami tidak akan memanggil orang kalau tidak ada rentetan dengan peristiwa yang lain, jadi berdasarkan dari alat bukti yang lain ini perlu dipanggil, maka perlu untuk memberikan keterangan apa yang dilihat, didengar dan dialami. Kalau misalnya dia dipanggil tidak bersedia memberikan keterangan tanpa alasan yang logis, ada konsekuensi hukumnya, ini pesan saya kepada masyarakat," kata Supardi.

Direktorat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka terkait kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) periode 2013-2019.

Adapun ketujuh tersangka itu berinisial IS selaku mantan Direktur Pelaksana UKM dan Asuransi LPEI 2016-2018, NH selaku mantan Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis II LPEI 2017-2018, EM selaku mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Makassar LPEI 2019-2020.

Berikutnya, CRGS selaku mantan Relationship Manager Divisi Unit Bisnis LPEI Kanwil Surakarta 2015-2020, AA selaku Deputi Bisnis pada LPEI Kanwil Surakarta 2016-2018, ML selaku mantan Kepala Departemen Bisnis UKMK LPEI, dan RAR selaku Manager Risiko PT BUS Indonesia.

Usai ditetapkan tersangka, seluruhnya ditahan selama 20 hari terhitung dari tanggal 2 November sampai dengan 21 November 2021 di Rutan Kelas I Cipinang demi kepentingan penyidikan.

Sementara itu, untuk perkara pokok kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019 masih terus diselidik dengan meminta keterangan para pihak terkait.

Penyidik juga masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait nilai kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perkara ini.

Supardi menegaskan, kasus ini tidak menghalangi pihaknya dalam menyidik perkara tersebut dan secepatnya menentukan tersangka.
Baca juga: Kejagung tetapkan 7 tersangka halangi kasus korupsi LPEI

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021