Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri II Brunei Darussalam Erywan Yusof akan tetap memastikan implementasi Konsensus Lima Poin yang disepakati Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk membantu penyelesaian krisis di Myanmar.

Sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, Erywan terus berupaya untuk berkonsultasi dengan semua pemangku kepentingan di negara yang dilanda krisis sejak kudeta militer Februari lalu itu, meskipun masa jabatannya akan segera berakhir seiring dengan rampungnya tugas Brunei sebagai ketua ASEAN tahun ini.

“Bahkan ketika masa jabatan saya sebagai utusan khusus berakhir, saya akan terus melakukan upaya untuk memastikan keterlibatan dengan semua pihak terkait dan memenuhi mandat Konsensus Lima Poin,” kata dia ketika menyampaikan sambutan pada acara puncak International Conference on Digital Diplomacy (ICDD) 2021 secara virtual pada Selasa.

Berkaitan dengan pemanfaatan diplomasi digital yang menjadi tema utama dalam konferensi yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri RI tersebut, Erywan menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai utusan khusus, ia telah mencatat 60 pertemuan dengan berbagai pihak untuk membahas isu Myanmar hanya dalam waktu dua bulan dengan menggunakan diplomasi digital.

Pertemuan yang dimaksud antara lain dengan sesama negara anggota ASEAN, anggota masyarakat internasional, serta organisasi regional dan internasional.

Namun, terlepas dari kemudahan dan kenyamanan yang difasilitasi melalui komunikasi virtual, Erywan berpendapat diplomasi digital masih memiliki banyak kekurangan, terutama berkaitan dengan gangguan teknis, privasi, dan keamanan.

Menurut dia, komunikasi melalui media digital belum dapat membangun kepercayaan dan keyakinan yang diperlukan semua pihak untuk terlibat dalam proses dialog, seperti layaknya dalam pertemuan fisik.

Baca juga: Malaysia dukung keputusan Brunei memulai KTT ASEAN tanpa Myanmar

Erywan menegaskan bahwa diplomasi secara tatap muka dan percakapan pribadi secara langsung sangat penting dilakukan, khususnya untuk menangani isu-isu sensitif.

“Inilah sebabnya mengapa Konsensus Lima Poin memfasilitasi utusan khusus ASEAN untuk melakukan kunjungan ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait secara langsung,” tutur dia.

Sejak ditunjuk sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar pada Agustus lalu, Erywan belum mendapat akses untuk berdialog dengan semua pihak terkait krisis di Myanmar, termasuk dengan mantan pemimpin Aung San Suu Kyi yang berada di penjara.

Militer yang kini berkuasa di Myanmar menolak akses utusan khusus ASEAN untuk bertemu Suu Kyi, dengan alasan bahwa mengizinkan orang asing mengakses seseorang yang didakwa melakukan kejahatan akan bertentangan dengan hukum dalam negeri Myanmar.

Tidak diberikannya akses bagi utusan khusus untuk mengunjungi Myanmar dan lambatnya implementasi konsensus telah memicu ASEAN untuk tidak melibatkan Myanmar dalam KTT pada akhir Oktober lalu.

Keputusan untuk mengecualikan pemimpin junta menjadi langkah bersejarah bagi ASEAN yang memiliki kebijakan untuk tak mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain.

Perhimpunan itu juga telah lama tidak menggunakan sanksi atau tindakan keras lain dalam merespons isu Myanmar.

Baca juga: Menlu Brunei ditunjuk sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar
Baca juga: Militer Myanmar tetap tak izinkan utsus ASEAN bertemu Suu Kyi


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021