Depok (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangungan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan tingkat produktivitas yang masih rendah masih menjadi suatu isu dalam 30 tahun di Tanah Air.

"Dan kita tidak pernah loncat dalam tingkat produktivitas," katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin.

Suharso menyampaikan hal tersebut saat sambutan utama pada wisuda secara daring Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banking School (STIE-IBS). Ia menyampaikan bahwa penyebab rendahnya produktivitas karena jarang sekali mahasiswa diajarkan total factor productivity (TFP).

Baca juga: Kemenperin dorong produktivitas IKM lewat pendampingan penerapan SNI

"Padahal ini penting untuk mendorong capital dalam pertumbuhan ekonomi, dan regulasi kita masih tertinggal" katanya pada wisuda yang dihadiri Ketua STIE-IBS Dr Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, SH,LL.M dan Ketua Senat STIE- IBS Prof Dr Djokosantoso Moeljono itu.

Kepala Bappenas itu menyatakan ekonomi dunia sudah berubah dipimpin oleh destruksi teknologi dan model bisnis sudah berubah, begitu juga dengan model keuangan juga telah berubah.

Permintaan sumber daya manusia (SDM), kata dia, juga berubah sehingga membutuhkan "upscaling" dari SDM untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil.

Baca juga: Menaker harapkan rasio produktivitas PDB meningkat di 2021

Dalam 12 tahun terakhir, katanya, perekonomian Indonesia cenderung tumbuh di bawah potensialnya.

Menurut dia banyak alasan yang menjadi penyebabnya.

"Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa mengapa kita masih 'lower midle income', salah satunya adalah tingkat produktivas kita yang masih rendah itu," katanya.

Ia menekankan bahwa kemajuan sebuah negara ditentukan oleh tingkat kompleksitas ekonominya. Oleh karena itu, makin tinggi tingkat kompleksitas ekonominya, maka negara itu makin baik.

Sayangnya, kata dia, Indonesia memiliki tingkat kompleksitas ekonomi yang sangat rendah. Bahkan, di Asia saja sangat rendah.

"Kompleksitas itu didorong oleh inovasi. Sayangnya, inovasi kita masih rendah. Semoga para banker 'aware' soal ini," katanya.

Oleh karena itu, Suharso Monoarfa menyatakan penting untuk fokus pada Human Capital Index dan bukan lagi Human Development Index.

Ketua STIE-IBS Dr Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono menjelaskan wisuda dilakukan secara hybrid, yakni daring dan luring, karena mengedepankan prinsip keselamatan dan perlindungan bagi segenap sivitas academica dan tenaga kependidikan.

Peserta yang hadir hanya perwakilan wisudawan dengan tetap mengikuti protokoler kesehatan dalam upaya pencegahan penularan COVID-19 di ruang Auditorium Rachmat Saleh LPPI Kemang, Jakarta Selatan.

Ia menyampaikan bahwa sejak berdiri pada tahun 2004 perguruan tinggi itu telah menghasilkan lulusan strata (S)1 pertama kalinya tahun 2008 hingga lulusan yang ke-14 tahun 2021 ini seluruhnya berjumlah 2.388 orang.

Pada tahun 2021 ini seluruhnya berjumlah 317 orang, termasuk strata (S2) dari berbagai kota di luar Pulau Jawa, mulai dari ujung timur Indonesia, yaitu Kupang, Waingapu, Maumere di Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Baubau (Sulawesi Tenggara), Bandar Lampung, Bangka (Babel), dan Natuna (Kepri).

Secara rata-rata rasio lulusan STIE-IBS langsung bekerja setelah lulus atau di bawah masa tunggu 3 bulan hampir mencapai 90 persen.

Lulusannya menyebar ke segala penjuru baik di dalam dan luar negeri.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021