Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian dalam perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi ialah terkait perbaikan dalam kriteria petani penerima pupuk subsidi.

“Pelaksanaan program pupuk bersubsidi saat ini belum dapat dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan produksi pertanian karena tidak semua petani mendapatkan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhannya,” ujar dia secara virtual, Jakarta, Selasa.

Ombudsman menilai kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 tahun 2020 menyebabkan pemberian pupuk bersubsidi belum memberikan hasil setimpal dengan anggaran pupuk bersubsidi yang terbatas, jumlah komoditas yang sangat banyak (69 komoditas), lalu pembatasan lahan kurang dari dua hektar.

Serta, penggunaan jenis pupuk bersubsidi yang lebih beragam. “Ada padat, cair, organik, dan anorganik, mengakibatkan rata-rata petani hanya mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 38% dari kebutuhannya,” ungkap dia.

Setelah pemberian pupuk bersubsidi, lanjutnya, tidak ada jaminan bagi petani dapat memenuhi kebutuhan pupuknya melalui pemberian pupuk bersubsidi.

Kondisi ini berdampak terhadap tidak munculnya dampak pemberian pupuk bersubsidi terhadap peningkatan produksi komoditas pertanian,

Menurut Ombudsman, seharusnya Permentan dapat mengatur lebih detail dan ketat mengenai kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi mengingat minimnya anggaran dana alokasi pupuk bersubsidi yang terbatas.

Dengan perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi yang mengatur penentuan sasaran penerima, penentuan jenis pupuk, fokus pada komoditas tertentu, serta diiringi dengan pengawasan, maka pupuk bersubsidi dapat dijadikan sebagai instrumen dalam perlindungan petani dan menjaga keberlanjutan sistem budidaya pertanian maupun instrumen peningkatan produksi.

Karena itu, Ombudsman memberikan opsi kepada Kementerian Pertanian (Kementan) dalam perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dengan tiga opsi.

Pertama, pupuk bersubsidi alokasinya diberikan 100 persen kepada petani tanaman pangan dan hortikultura sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar.

Sebagaimana yang disampaikan, petani pangan dan pertanian hortikultura yang memiliki 0,1 hektar lahan garapan mencapai 60 persen dari seluruh rumah tangga petani di Indonesia.

Yeka menyampaikan bahwa petani yang masuk ke dalam kategori ini rentan beralih karena kepemilikan lahan yang kecil. Dengan pemberian pupuk bersubsidi, diharapkan sistem budidaya berkelanjutan, terpelihara, dan produksi pangan dapat terjaga atau bahkan lebih baik.

Adapun opsi kedua yaitu memberikan alokasi pupuk bersubsidi sebesar 100 persen hanya kepada petani dengan komoditas tanaman padi dan jagung saja sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,5 hektar.

“Kalau kemarin masih 69 komoditas, sekarang diatur menjadi atau direkomendasikan menjadi dua komoditas yaitu fokus pada jagung dan padi saja, maka ada harapan bahwa itu bisa terpenuhi. Tentunya memerlukan simulasi, nanti akan dihitung oleh Kementan apakah ini bisa 100 persen atau tidak,” ucap dia.

Untuk opsi terakhir, yaitu pupuk bersubsidi diberikan kepada petani dengan luas garapan di bawah 1 hektar dengan komoditas strategis (sebagaimana ketentuan Kementan dan Kementerian Perdagangan) dengan kebutuhan minimal 60 persen.



Baca juga: Ombudsman catat potensi maladministrasi tata kelola pupuk bersubsidi

Baca juga: DPR cari formula terbaik terkait program pupuk bersubsidi

Baca juga: KSP: Kartu Tani tingkatkan akurasi penyaluran pupuk bersubsidi


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021