Jakarta (ANTARA) - Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengungkapkan produksi limbah medis termasuk sisa sampah terkait COVID-19 mengalami peningkatan sebesar 36 persen pada 2021 dibanding tahun sebelumnya.

Asep menyebut jumlah limbah medis COVID-19 pada lima lokasi TPS dengan kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) skala kota mencapai mencapai 2.106,65 kilogram selama 2021, sedangkan pada 2020 tercatat sebanyak 1.538,77 kg.

Baca juga: Saluran limbah pabrik farmasi di Jakarta Utara ditutup

"Pemprov DKI telah melakukan berbagai upaya untuk mengelola limbah medis terutama dari hulu, salah satunya dengan membangun sistem pengelolaan limbah medis dari rumah tangga berbasis wilayah. Selain itu Pemprov DKI juga mengelola limbah medis di tempat isolasi terkendali," kata Asep dalam acara diskusi Aliansi Jurnalis Peduli Lingkungan Indonesia (AJPLI) di Jakarta, Jumat.

Untuk pengelolaan limbah rumah tangga, Asep menuturkan bahwa pihaknya membangun sistem hingga level kecamatan dengan menempatkan satu lokasi yang difungsikan sebagai tempat pengumpulan seluruh limbah medis (masker, sarung tangan, dan sebagainya) yang bersumber dari rumah tangga di kecamatan tersebut.

Limbah medis yang dikumpulkan di skala kecamatan kemudian diangkut ke TPS limbah B3 skala kota dengan menggunakan truk boks.

"Lalu, limbah yang terkumpul di TPS skala kota, diangkut pihak ketiga jasa pengolah limbah B3 menuju lokasi pemusnahan atau insinerator untuk memusnahkan limbah medis COVID-19 yang bersumber dari rumah tangga," ujar Asep.

Adapun di fasilitas kesehatan dan rumah sakit, anggota Bidang Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19 Lia G Partakusuma mengatakan jumlah limbah medis mengalami peningkatan akibat pandemi COVID-19 dari yang sebelumnya rata-rata limbah medis hanya sekitar 1 kg per satu hari untuk satu pasien, kini rata-rata limbah medis di rumah sakit naik menjadi 1,88 kg per satu hari per pasien.

"Ini karena tenaga medis memerlukan lebih banyak alat pelindung diri agar tak terinfeksi COVID-19. Jumlah limbah medis naik signifikan saat puncak kasus COVID-19 pada pertengahan tahun. Dari yang biasanya di satu RS sekitar 75 ton, menjadi 105 ton. Bahkan ada yang mencapai 403 ton per hari. Jadi ada yang naik tiga kali lipat, ada yang naik lima kali lipat," ujar Lia.

Lia menegaskan pengelolaan dan penyaluran limbah medis yang sedemikian banyak dilakukan secara baik karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

"Kan bisa saja limbah itu, misalnya masker bekas orang terpapar COVID-19, dibuang sembarangan dan didaur ulang oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Itu tentu berbahaya. Inilah kenapa pentingnya pengelolaan limbah medis terutama dari hulu," ungkap Lia.

Baca juga: DLH DKI segel saluran limbah pabrik farmasi di Jakarta Utara

Adapun di sisi hilir, setelah limbah medis yang harus telah dipilah masyarakat, menjadi tanggung jawab dari penyedia jasa pemusnahan limbah B3 yang berbahaya, karenanya dibutuhkan keseriusan dan komitmen industri untuk mengelola limbah secara benar.

Sementara itu, General Manager PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) Yurnalisdel menambahkan penanganan limbah medis yang tergolong B3 memerlukan pemahaman yang sama antara penghasil limbah, pelaku industri, dan regulator.

Dari sisi industri, katanya, perusahaan pengolah limbah harus memiliki komitmen yang kuat untuk mengolah secara benar dan tidak mencemari lingkungan, sehingga perlu meningkatkan pengawasan dan "enforcement" kepada industri pengolah limbah dari regulator.

"Tujuannya agar industri benar-benar mengelola limbahnya secara baik," ucap Yurnalisdel.

Yurnalisdel menegaskan, perusahaan pengolah limbah juga perlu memiliki "landfill" mandiri agar tidak membuang limbah secara sembarangan atau ke tempat lain.

Belajar dari pentingnya pengelolaan limbah medis secara baik dan benar, dia menyebut PPLI menyebut telah membangun insinerator dengan teknologi terbaru berkapasitas 50 ton per hari.

Insinerator itu, menurut Yurnalisdel, merupakan fasilitas pengolahan limbah secara termal yang memanfaatkan energi panas untuk membakar limbah secara terkendali pada suhu tinggi pada suatu alat tertutup.

Energi panas yang digunakan dalam proses insinerasi tidak hanya mampu menghancurkan polutan yang terkandung dalam limbah, tetapi juga mampu mengurangi massa dan volume limbah secara signifikan.

Menurut dia, salah satu kelebihan insinerator PPLI adalah dilengkapi peralatan pengendalian emisi, sehingga dapat memenuhi persyaratan emisi paling ketat, seperti persyaratan emisi Uni Eropa.

"Kita mencoba menghadirkan di atas yang dipersyaratkan oleh regulasi, salah satunya adalah penggunaan continuous emission monitoring system (CEMS). CEMS tak hanya memantau temperatur, O2, dan CO2, tapi juga memantau HCI, NOX, SO2, CO, hingga dust concentration dan moisture," kata Yurnalisdel.

Baca juga: Kelurahan Joglo buat kios dari limbah bahan bangunan

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2021