Bengkulu (ANTARA News) - Limbah batu bara yang dibuang ke Sungai Air Bengkulu  menghancurkan ekosistem sungai karena pencemarannya sudah melebihi ambang batas.

"Yang paling mengkhawatirkan adalah air sungai itu masih menjadi sumber air baku PDAM Kota Bengkulu, sehingga masyarakat juga turut mengonsumsi air limbah," kata Direktur Ulayat Oka Adriansyah di Bengkulu, Kamis.

Ia mengatakan, pembuangan limbah batu bara dari aktivitas pertambangan di hulu sungai itu juga diperparah dengan limbah pabrik karet yang juga dibuang ke sungai itu.

Hasil penelitian Ulayat pada 2010, tingkat kekeruhan air sudah berada di ambang batas, yakni sebesar 5000 NTU lebih besar dari 5 NTU yang ditetapkan dalam Permenkes 907 tahun 2002 tentang pengawasan kualiatas air.

Selain tingkat kekeruhan, ia mengatakan, perubahan warna yang ditolerir sebesar 15 PTCO sudah berada pada angka 267 PTCO.

Kandungan besi berada pada angka 0,76 mg per liter dari angka yang di tolerir 0,30 mg per liter.

"Dari kondisi ini sebenarnya Ulayat sudah merekomendasikan agar PDAM menghentikan pengambilan air dari Sungai Bengkulu dan mengalihkan seluruh sumber air minum dari Sungai Air Nelas," tambahnya.

Sementara itu, Gerakan Masyarakat Peduli Daerah Aliran Sungai (Gemapedas), gabungan dari unsur masyarakat, mahasiswa dan lembaga non-pemerintah, menuntut Pemerintah Provinsi Bengkulu mencabut izin Kuasa Pertambangan (KP) delapan perusahan yang beraktivitas di hulu Sungai Bengkulu.

"Kami menuntut pencabutan izin delapan perusahaan tambang yang ada di hulu Sungai Air Bengkulu karena jelas limbah batu bara sudah mencemari sungai dan ekosistimnya hancur," kata aktivis Gemapedas Deff Tri Hamdi.

Deff mengatakan, dampak pembuangan limbah batu bara ke Sungai Bengkulu selain menghancurkan ekosistem sungai, juga mencemari sumber air minum bagi warga Kota Bengkulu.

Ia mengatakan, solusi terbaik adalah mencabut izin tambang yang ada di hulu sungai tersebut yang menjadi sumber pencemaran.
(KR-RNI/F002)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011