Yang memaklumi, biasanya ditujukan kepada pejabat publik yang harus mengayomi semua masyarakat.
Jakarta (ANTARA) - Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan Sukoharjo, Jawa Tengah KH Mohammad Dian Nafi mengatakan polemik terkait memberikan ucapan hari besar keagamaan tidak perlu diributkan karena umat dapat memilih pandangan tafsir para ahli yang diyakini.

“Setiap warga dapat memilihnya. Yang menolak (mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain) itu juga disasarkan pada penjelasan kitab tafsir. Yang memaklumi, biasanya ditujukan kepada pejabat publik yang harus mengayomi semua masyarakat,” ujar KH Mohammad Dian Nafi dikutip dari siaran pers di Jakarta, Sabtu.

Di samping itu, menurut Kiai Dian Nafi, sapaan akrab KH Mohammad Dian Nafi, masyarakat hanya perlu berkomunikasi secara baik untuk merajut harmoni karena hubungan yang saling menenggang pun sudah menggembirakan bagi penganut agama dalam menikmati hari-hari besarnya, tanpa perlu meributkan ucapan selamat.

Lebih lanjut, Kiai Dian Nafi yang juga merupakan Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu, menyampaikan empat poin yang perlu ditanamkan umat Muslim untuk membangun toleransi antarumat beragama.

Empat poin itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan beragama dan berbangsa.

Pertama, kata dia, memperdalam ilmu agama dari beragam sumber yang baik.

“Kedua, mengambil teladan tokoh-tokoh Muslim yang sukses mengembangkan persaudaraan kebangsaan. Merekalah para ulama negarawan yang dilahirkan dari perjuangan membangun kerukunan kebangsaan dan hasil dari pendidikan yang berpihak kepada masa depan bangsa,” katanya pula.

Lalu, yang ketiga adalah memperhatikan sejarah pasang surut bangsa-bangsa.

Dari sejarah itu, menurut Kiai Dian Nafi, dapat dilihat keberhasilan mereka dalam membangun kerukunan kebangsaan yang berbuahkan kesentosaan bagi negara.

“Keempat adalah memulai dari simpul yang terjangkau dengan kegiatan yang mudah dilakukan dan pelajaran yang didapat diperkuat untuk kegiatan lanjutan,” kata Kiai Dian Nafi.

Ia juga menyampaikan penanaman moderasi beragama, yaitu mengamalkan agama tidak secara ekstrem, menjadi berkaitan dengan kemaslahatan umat. Kemaslahatan itu dapat dimaknai sebagai suatu keadaan baik yang menjadi tujuan manusia dalam menjalani hidup.

"Dalam ilmu ushul fiqh, ada tiga tingkatan kemaslahatan dalam konteks bernegara. Pertama, dharuriy (primer), yaitu menjaga kerukunan dan persatuan sesama warga bangsa. Hal ini mutlak dibutuhkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan kesentosaan negara,” ujar Kiai Dian Nafi.

Kemudian, tataran kedua adalah hajiy, yaitu mengetahui dan menenggangkan ajaran yang dianut oleh sesama warga bangsa dari agama yang berbeda, sehingga memudahkan pergaulan kemasyarakatan, muamalah sehari-hari, dan menjauhkan dari kerenggangan hubungan.

“Tingkatan ketiga adalah tahsiniy, yaitu menyampaikan pujian kepada warga yang berbeda agama atas kebaikan yang ada pada mereka. Semua itu mendukung kerukunan dan memudahkan hidup bermasyarakat secara damai,” kata Kiai Dian Nafi lagi.

Oleh karena itu, menurutnya pula, masyarakat juga perlu memahami bahwa dalam mengamalkan agama, diperlukan wasathiyyah, yaitu sikap moderat perpaduan ilmu dengan tindakan sebagaimana disampaikan Wahbah Az-Zuhaily.

Dalam bermoderasi itu, Kiai Dian Nafi juga mengimbau para tokoh agama untuk selalu menanamkan moderasi beragama kepada umat Muslim demi mewujudkan kerukunan antarumat beragama.
Baca juga: Dubes Singapura beri ucapan selamat hari raya ke Muslim di Indonesia

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021