Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021-2025.

Perpres ini menggantikan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019.

Perpres yang ditandatangani Presiden tanggal 8 Juni 2021, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM pada tanggal yang sama ini, menjadi babak baru perlindungan dan penegakan HAM di Tanah Air.

Penerbitan Perpres ini didasari pertimbangan pentingnya menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak asasi manusia, guna menciptakan kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, dan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Sebagaimana dikutip dari salinan Perpres di laman jdih.setkab.go.id, dalam Perpres tersebut dijelaskan RANHAM adalah dokumen yang memuat sasaran strategis yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia.

Aksi HAM adalah penjabaran lebih lanjut dari RANHAM untuk dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

RANHAM sebagaimana dimaksud merupakan pedoman bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Aksi HAM; serta kegiatan percepatan yang dilaksanakan oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi serta kabupaten/kota yang dituangkan dalam bentuk kegiatan khusus di luar kegiatan rutin.

Baca juga: KSP: Komnas Disabilitas komitmen pemerintah perkuat perlindungan HAM

RANHAM sebagaimana dimaksud harus memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap kelompok sasaran antara lain perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat.

Adapun kelompok sasaran sebagaimana dimaksud dapat ditinjau kembali secara berkala atau sewaktu-waktu jika diperlukan sesuai dengan hasil evaluasi capaian pelaksanaan RANHAM dan/atau kebijakan pemerintah.

Di dalam Perpres juga dijelaskan dalam rangka menyelenggarakan RANHAM, maka dibentuk Panitia Nasional RANHAM, yang terdiri atas menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.

Panitia Nasional RANHAM ini dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Tugas Panitia Nasional RANHAM adalah merencanakan, mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan RANHAM di kementerian lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Selain itu menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota kepada Presiden, mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM.

Adapun dalam melaksanakan tugasnya Panitia Nasional RANHAM dibantu oleh sekretariat yang berkedudukan di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Ketentuan mengenai tata cara koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta sekretariat Panitia Nasional RANHAM diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Baca juga: Bersama menjunjung tinggi HAM

Sementara itu pelaksanaan Aksi HAM oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dituntut untuk mengikutsertakan masyarakat.

Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggungjawab atas pelaksanaan Aksi HAM sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Nantinya menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota menyampaikan laporan capaian pelaksanaan RANHAM kepada Panitia Nasional RANHAM setiap 4 bulan sekali.

Laporan tersebut juga harus dilaporkan kepada Presiden setiap 12 bulan sekali dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

Seluruh laporan itu dilaksanakan sebagai wujud akuntabilitas publik. Sebab, pendanaan pelaksanaan RANHAM dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Adapun pendanaan pelaksanaan RANHAM dapat juga berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

RANHAM generasi kelima

Deputi V Kantor Staf Presiden RI Jaleswari Pramodhawardani mengatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusi (RANHAM) 2021-2025 merupakan RANHAM generasi kelima, sejak RANHAM generasi pertama diterbitkan untuk periode tahun 1999-2003.

Jaleswari menyebut Perpres ini sebagai peta jalan pelaksanaan tanggung jawab HAM pemerintah.

"Dengan dikeluarkannya RANHAM generasi kelima ini, peta jalan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM lima tahun ke depan semakin jelas dengan ditetapkannya strategi, fokus, dan kelompok sasaran," ujar Jaleswari.

Menurut Jaleswari, RANHAM generasi kelima ini merupakan rencana aksi yang berbeda dengan kegiatan rutin kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Baca juga: Komnas HAM: Lebih dari 50 persen aduan terkait hak atas kesejahteraan

RANHAM generasi kelima mengupayakan afirmasi kepada empat kelompok sasaran, yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat, yang selama ini kurang mendapatkan manfaat pembangunan secara maksimal.

"Mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pada RANHAM generasi kelima ini lebih sistematis dan komprehensif sehingga diharapkan pencapaian aksi HAM dapat diukur dengan sasaran yang hendak dicapai, yaitu hasil dari aksi HAM, bukan sebatas administrasi prosedural," jelasnya.

Dia menekankan bahwa dengan ditetapkannya fokus empat kelompok sasaran RANHAM 2021-2025 tidak berarti kewajiban pemerintah terkait HAM pada kelompok sasaran lainnya diabaikan.

"Pemerintah dalam lingkup kewenangan eksekutif tengah menggodok langkah-langkah relevan lainnya sehingga seluruh kelompok strategis dapat turut mendapatkan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan atas hak asasi manusianya," ujar Jaleswari.

Adapun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI mengakui butuh kerja keras dalam mengimplementasikan RANHAM generasi kelima, khususnya soal masyarakat adat.

"Kita tahu apabila di suatu daerah ada aktivitas bisnis, misalnya, pembukaan lahan, pabrik dan sebagainya maka seringkali masyarakat adat termarginalkan," kata Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham Mualimin Abdi.

Diakui Mualimin, seringkali terjadi di lapangan masyarakat adat tidak memiliki kekuatan atau kemampuan bila terjadi gejolak atau masalah pembukaan lahan oleh pengusaha di tanah leluhur mereka.

Pemerintah, kata dia, telah berusaha mengatasi hal tersebut dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga yang bergelut atau memperjuangkan serta mengadvokasi hak-hak masyarakat adat.

Baca juga: Pemerintah tak akan intervensi Komnas HAM dalam penyelidikan HAM berat

Kendati demikian, secara umum implementasi sasaran RANHAM khususnya soal perempuan, anak-anak dan disabilitas sudah jauh lebih baik dibandingkan isi RANHAM generasi pertama, kedua dan ketiga.

Sebagai contoh, kata dia, khusus untuk kelompok perempuan, pemerintah terus berupaya bagaimana mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual segera terwujud.

Selain itu, Kemenkumham juga selalu mendorong partai politik di Tanah Air agar konsisten mengenai keterwakilan kaum perempuan sebanyak 30 persen terpenuhi.

Tidak hanya itu, di sektor pemerintah saat ini baik perempuan atau laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Jika seseorang memiliki kapasitas dan memenuhi syarat maka ia bisa saja menduduki jabatan atau posisi strategis.

Pelanggaran HAM berat

Keberadaan RANHAM 2021-2025 juga merupakan salah satu wujud upaya pemerintah menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI memaparkan peran yang diambil oleh pemerintah dalam menyikapi atau menyelesaikan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28i ayat (4).

Sesuai amanat yang telah diatur dalam undang-undang, pemerintah wajib melakukan sejumlah kegiatan yang konkret menyikapi dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kegiatan-kegiatan tersebut merujuk kepada tanggung jawab pemerintah kepada para korban atau orang yang terdampak dari peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Menurut Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham Mualimin Abdi, khusus peristiwa pelanggaran HAM berat pemerintah tidak ikut campur dalam hal mekanisme penegakan hukum.

Khusus untuk penegakan hukum maka Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bertindak sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik.

Baca juga: LPSK: Negara pulihkan 3.692 korban pelanggaran HAM berat

Akan tetapi, lanjut dia, bukan berarti pemerintah lepas tangan atau membiarkan begitu saja terkait sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satunya melalui penyusunan RANHAM ini.

Hak penyandang disabilitas

Belum lama ini Presiden juga telah membentuk Komisi Nasional Disabilitas untuk mengawal hak-hak para penyandang disabilitas. Hal ini tidak lepas dari wujud nyata komitmen pemerintah melaksanakan RANHAM 2021-2025.

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan bahwa pembentukan Komisi Nasional Disabilitas merupakan wujud komitmen pemerintah untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia, khususnya untuk para penyandang disabilitas.

Jaleswari menekankan ini merupakan pertama kalinya perhatian pada hak-hak penyandang disabilitas dilaksanakan melalui pendekatan kelembagaan.

Komisi Nasional Disabilitas memiliki tugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak dari para penyandang disabilitas.

Lebih jauh, Jaleswari memaparkan bahwa saat ini pemerintah juga sedang membahas secara progresif mengenai kebijakan pengarusutamaan bisnis dan HAM, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dan RUU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

"Semua ini untuk menciptakan iklim yang baik bagi hak asasi manusia di Indonesia," kata dia.

Baca juga: Komnas HAM Papua mengevaluasi kinerja pelayanan 2021

Pemerintah juga secara progresif mendukung penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat, baik melalui jalur yudisial maupun nonyudisial. Secara yudisial, proses hukum pada kasus Paniai telah berjalan dengan dimulainya penyidikan oleh Jaksa Agung.

"Sementara itu, penyelesaian nonyudisial pun terus diupayakan untuk membentuk mekanisme yang sesuai, yang saat izin prakarsa RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) sedang berproses," ucapnya.

Adapun seiring berkembangnya teknologi digital, tuntutan atas perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tentu akan mengalami perubahan dan peningkatan dari waktu ke waktu.

Pemerintah harus menjamin RANHAM 2021-2025 dilaksanakan secara menyeluruh di setiap kementerian dan lembaga, di setiap daerah, dan juga pada segala bidang, dengan terus mengantisipasi segala tuntutan terkait HAM yang mungkin muncul di kemudian hari.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021