Jakarta (ANTARA) - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mendorong gerakan bersama dan berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah, termasuk pengolahan limbah organik menjadi eco enzyme untuk mewujudkan Jakarta lebih bersih dan sehat.

Pemprov DKI terus berupaya dalam mengatasi persoalan sampah melalui berbagai program. Selain membangun Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA), Pemprov DKI juga mengajak peran serta masyarakat untuk mengatasi persoalan sampah melalui program Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) Persampahan.

Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu menjelaskan bahwa selama ini Pemprov DKI telah berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam mengatasi persoalan sampah di ibu kota yang mencapai kisaran 7.500 ton per hari.

Baik sampah organik maupun anorganik kisaran 7.500 ton per hari masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Di sisi lain, TPST Bantar Gebang sudah berusia lebih dari 30 tahun sehingga kapasitasnya semakin terbatas. Oleh sebab itu, kolaborasi ini dapat mengurangi volume sampah yang masuk ke TPST Bantar Gebang.

Asep mengatakan Pemprov DKI Jakarta terus menggalakkan gerakan Jakarta Sadar Sampah untuk mendorong kesadaran dan gerakan bersama, misalnya mulai memilah sampah dari rumah tangga atau sumbernya. Penyelesaian persoalan sampah ini dilakukan melalui sebuah gerakan yang menciptakan kepedulian dan tanggung jawab bersama dalam mengelola sampah.

"Seperti acara hari ini kolaborasi Pemerintah Provinsi DKI dan Komunitas Eco Enzyme Nusantara menjadi salah satu langkah dalam mengatasi persoalan sampah," ujarnya dalam acara Merawat Lingkungan dengan Eco Enzyme untuk Jakarta yang Lebih Sehat dan Bersih di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/1/2022).

Dia menilai, pengolahan sampah organik menjadi eco enzyme menjadi salah satu solusi permasalahan saat ini. "Kami optimis ini (pengolahan sampah organik menjadi eco enzyme) menjadi salah satu solusi sampah di kota-kota besar, termasuk di Jakarta."

Sementara itu, produk eco enzyme juga sudah memiliki pasar karena memiliki banyak manfaat. Selama ini, jenis sampah anorganik lebih banyak dicari karena memiliki nilai tambah dibandingkan sampah organik.

"Dengan mengolah menjadi produk yang bernilai, tentu akan mendorong semua pihak untuk mengolah sampah organik, seperti kompos, maggot, serta eco enzyme," ujar Asep.

Asep menambahkan bahwa Pemprov DKI giat melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga untuk memilah sampah dari rumah.

"Masyarakat perlu pilah sampahnya dari rumah sehingga ada gerakan bersama antara pemerintah, warga, dan komunitas dalam mengelola sampah. Komunitas Eco Enzyme Nusantara dapat mengolah sampah organik menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai, ini sangat luar biasa."

Sementara Wakil Ketua Umum II Eco Enzyme Nusantara Paul L. Iskandar mengatakan bahwa pembuatan eco enzyme relatif mudah dan murah sehingga bisa diaplikasikan semua orang. Eco enzyme adalah hasil dari fermentasi limbah dapur organik, gula (gula coklat, gula merah atau gula tebu), dan air dengan perbandingan.

"Membuat eco enzyme cukup 5 menit, mencampurkan gula atau molase, dan air. Kemudian fermentasi selama 3 bulan, tidak boleh terkena udara terbuka. Ini mudah dan murah," tuturnya.

Menurutnya, jika semua rumah tangga di DKI Jakarta mengolah sampah organik menjadi eco enzyme, maka akan berdampak besar dalam mengurangi volume sampah yang masuk ke TPST Bantar Gebang. Jika tiap rumah tangga di DKI Jakarta mengolah sampah organik 1 kg per pekan, maka dapat mengurangi volume sampah organik sebanyak 11.200 ton per bulan.

"Kemudian produk eco enzyme yang dihasilkan memiliki banyak manfaat, seperti untuk penyemprotan udara, untuk deterjen, sabun, karbol, menyuburkan lapisan tanah serta mampu memperbaiki kualitas air tanah dan kesuburan tanah."

Paul mengakui bahwa tidak mudah untuk menggerakkan pengolahan sampah organik secara masif karena masih menghadapi beberapa kendala, terutama kesadaran warga. Selain itu, perlu fasilitas, seperti tempat penampungan (tong sampah) serta modal untuk pembelian molase.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022