Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko meminta agar upaya pemberantasan korupsi tidak dipersempit hanya untuk kemudahan bisnis di Indonesia.

"Saya hanya khawatir jangan-jangan pemberantasan korupsi dipersempit hanya bisnis. Kalau hanya soal bisnis, ya kita tidak akan naik tinggi karena kita akan dibebani pekerjaan rumah soal korupsi penegakan hukum, korupsi politik ini yang jadi PR penting," kata Danang dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Selasa.

TII pada hari ini meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau "Corruption Perception Index" (CPI) Indonesia yang pada 2021 naik tipis 1 poin menjadi 38 dari sebelumnya 37 pada 2020 atau berada di posisi 96 dari 180 negara yang disurvei.

IPK Indonesia 2021 yang mengacu pada 9 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Ada tiga data yang memotret sektor ekonomi menjadi pendorong kenaikan skor CPI Indonesia yaitu Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) naik 12 poin menjadi 47, "World Economic Forum EOS" (suap dan pembayaran ekstra pada impor-ekspor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, kontrak perizinan dan putusan pengadilan) juga naik 7 poin menjadi53 dan IMD World Competitiveness Yearbook" (suap dan korupsi dalam sistem politik) naik 1 poin menjadi 44.

"UU Omnibus Law Cipta Kerja mungkin berhasil sehingga persepsi bisnis meningkat tapi PR besar mengenai penegakan hukum dan demokrasi belum terselesaikan sehingga mungkin jangka pendek menyenangkan tapi jangka panjang akan menjadi masalah besar karena pertumbuhan ekonomi tidak diiringi demokrasi dan penegakan hukum akhirnya mungkin akan memunculkan bom waktu di masa datang," ungkap Dandang.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2021 naik tipis 1 poin menjadi 38

Dadang menyebut TII akan terus memantau perkembangan IPK Indonesia pada tahun-tahun pendatang.

"Tahun ini TII sebenarnya ingin mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan soal bisnis, tapi juga demokrasi dan hak asasi manusia," tambah Danang.

Saat ini, menurut Danang, terjadi regresi demokrasi karena misalnya ada pelemahan institusi pengawasan seperti pelemahan KPK yang berkontribusi pada kemunduran demokrasi.

"Kalau KPK lemah, penegakan hukum lemah maka institusi pengawasan melemah," ungkap Danang.

Selanjutnya ruang publik pun menjadi surut, terbatasnya ruang partisipasi dan berbagai pembatasan selama pandmei berkontribusi pada kemunduran.

"Kekhawatiran saya adalah minimnya partisipasi publik akan jadi tren terus ke depan. Jika sudah diputuskan elit barangkali kita hanya jadi penonton seperti yang terjadi pada Omnibus Law Cipta Kerja dan terakhir UU Ibu Kota Negara. Salah satu rekor UU dibahas dengan cepat, ketika kita masih mengira-ngira lokasi IKN di mana ternyata sudah disahkan," jelas Danang.

Danang menyebut bila sudah diputuskan elit maka masyarakat pun harus menerima semuanya.

Baca juga: TII sebut komitmen pemberantasan korupsi baru di atas kertas

"Kalau tidak puas silakan ke Mahkamah Konstitusi, ini mengkhawatirkan kita semua karena di masa depan akan jadi bom waktu yang menimbulkan konsekuensi sangat besar," kata Danang.

TII, menurut Danang, menilai pelemahaman insitusi pengawasan publik pada akhirnya berkontribusi pada meningkatnya korupsi.

"Kita tidak bisa menerima dan menoleransi pembahasan undang-undang tanpa partisipasi publik. Karena bila hal ini dlanjutnya masyarakat dapat menanggung beban utang BUMN, beban infrastruktur hingga beban korupsi yang harus ditanggung masyarakat. Maka saat ini tempatnya untuk membuka ruang publik dan partisipasi bagi seluruh masyarakat," jelas Danang.

Pemberantasan korupsi, ungkap Danang, pada dasarnya adalah usaha untuk memperkuat akuntabilitas dan meminta pertanggugngjawaban pemegang kekuasaan.

"Jadi bukan sekedar hanya menyiapkan bisnis atau menyiapkan karpet merah tapi bagaimana pemegang kekuasaan harus siap diminta pertanggungjawaban.
Pemberantasan kroupsi juga memastikan seluruh rakyat mendapat hak dan pelayanan yang sama dan setara dengan demikian gerakan antikorupsi adalah bagian prodemokrasi dan gerakan menegakan hak asasi manusia, karena yang memberantas korupsi adalah meminta pertanggungajwaban kekuasaan," tambah Danang.

Sementara berdasarkan data TII, ada tiga data yang stagnan yaitu "Economist Intelligence Unit Country Ratings" (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap di skor 37, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga stagnan di angka 32 serta "World Justice Project – Rule of Law Index" (pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya tetap di 23.

Namun ada 3 unsur yang mengalami penurunan yaitu "Political Risk Service" (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun dari 50 menjadi 48, "Bertelsmann Foundation Transformation Index" (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) turun dari 37 menjadi 33, "Varieties of Democracy" (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang mempengaruhi kebijakan publik) juga menurun dari 26 menjadi 22.

Baca juga: Menyorot Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang melorot

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022