Senggigi, NTB (ANTARA News) - Kebijakan banyak pemerintahan negara Asia yang cenderung centralistik dalam hal kehutanan, membuat sebagian besar, 68 persen, hutan di kawasan itu masih dikuasai negara.

Dengan kondisi itu, pengalihan hak penguasaan hutan dari pemerintah kepada warga dalam kawasan hutan dipandang krusial agar warga asli setempat dan komunitasnya dapat mengambil manfaat sebaik mungkin dari hutan.

Itulah kesimpulan dari rangkaian Konferensi Internasional Tenurial, Pengelolaan, dan Penguasaan Hutan di Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang ditutup Jumat siang (15/7).

Konferensi itu dihadiri 250 orang dari berbagai negara, terdiri dari ahli kehutanan, birokrat terkait kehutanan, masyarakat pemandu hutan, pengusaha hutan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Konferensi di Lombok ini merupakan lanjutan dari konferensi serupa di Brazil pada 2009 dan Kamerun beberapa waktu sebelumnya.

Penggagas dan sponsor konferensi ini diantaranya Kementerian Kehutanan Indonesia, Rights and Resourches Initiative (RRI), dan Organisasi Kayu Tebangan Tropis Internasional (ITTO).

Penutupan konferensi dipimpin Koordinator Staf Ahli Menteri Kehutanan Hadi Pasaribu, didampingi Koordinator RRI Andy White, dan Kepala Perwakilan ITTO Eduardo Mansur, serta Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Pasaribu.

Hak tenurial hutan di seluruh dunia merupakan masalah yang belum selesai pemecahannya dikarenakan banyak faktor, mulai dari landasan hukum dan sejarah pendirian negara serta masyarakat, ekonomi, hingga kemasyarakatan.
     
Akan tetapi, di balik itu semua, sejak lama disadari bahwa permasalahan hak tenurial hutan ini lebih terletak pada dimensi politik kekuasaan negara.

"Ini tidak lepas dari sejarah sistem hukum di banyak negara di Asia, yang kebanyakan adalah warisan dari para kolonialis. Karena itulah kita di Asia harus berani keluar dari belenggu sistem hukum kolonialis itu," kata Koordinator Contreras, Martua Sirait, yang juga menjadi satu penyimpul rangkaian persidangan.

Dalam sambutan penutupannya, Mansur menyatakan,"Masalah hutan terjadi karena ada masyarakat. Jika masyarakat bisa mengambil manfaat sebaik mungkin dari hutan itu, maka sebagian masalah bisa ditangani. Generasi kini masyarakat setempat telah berubah paradigmanya kepada orientasi pasar produk yang bisa mereka hasilkan."
    
Dengan begitu, katanya, basis pendekatan yang bisa dikedepankan adalah keadilan dan penjaminan pula kesetaraan gender. "Tidak kalah penting pengenalan tentang masyarakat asli dan komunitas setempat. Pengalaman kami di Brazil menyatakan demikian, sebagaimana terjadi di bagian lain dunia," katanya.
    
Amerika Latin diketahui telah mampu mengurangi penguasaan luas lahan hutan mereka menjadi hanya tinggal 32 persen saja, bahkan Brazil yang mencakup sebagian besar hutan hujan tropis Amazon, mencapai angka fantastis, yaitu 58 persen, dari total kawasan hutan mereka.

Sebagai tuan rumah, Pasaribu menegaskan komitmen pemerintahan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait hak tenurial hutan ini.

Masalah hak tenurial di Indonesia cukup khas ketimbang banyak negara lain di dunia karena sejumlah alasan, di antaranya terkait nilai-nilai adat yang berlaku dan pengakuan negara atas hak-hak komunitas itu yang termaktub dalam UUD 1945.
    
Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto, dalam penyataannya dalam sesi khusus konferensi itu menyatakan, sektor kehutanan menguasai 70 persen atau 133 Juta hektar lahan dari 190 juta hektar lahan Indonesia, namun hanya menyumbang 0.1 persen dari GDP Indonesia pada 2010.
    
Merujuk data Kementerian Kehutanan pada 2010, ada 33.000 desa yang sebagian dan seluruhnya berada di dalam kawasan hutan, namun hak-hak masyarakat adat dan lokal tidak diakui.

Kenyataan ini menyebabkan 10 juta orang yang hidupnya tergantung dengan hutan hidup dibawah garis kemiskinan. Ketidakpastian hak masyarakat adat dan lokal juga menyebabkan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan pemegang konsesi.

(A037/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011