Surabaya (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum Pers Surabaya prihatin dengan keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Nomor PAS.HM.01.02.16 tertanggal 10 Mei 2011, karena dianggap bisa menghalangi tugas jurnalistik.

Direktur LBH Pers Surabaya, Athoillah SH, di Surabaya, Selasa, mengatakan, SE Dirjenpas itu berisi tiga hal, yakni setiap narapidana/tahanan tidak diperkenankan untuk diwawancarai baik langsung maupun tidak langsung, melalui media cetak maupun elektronik berupa wawancara, talkshow, telekonferensi, dan rekaman.

"Yang kedua adalah setiap lapas/rutan tidak diperbolehkan sebagai tempat peliputan dan pembuatan film, karena selain mengganggu kegiatan pembinaan dan merusak ketentraman penghuni, juga akan berdampak pada gangguan sistem keamanan lapas/rutan," katanya.

Sedangkan aturan ketiga, peliputan untuk kepentingan pembinaan dan dokumentasi negara dapat dilakukan secara selektif, setelah mendapat izin dari Dirjenpas atau bila perlu dari Menteri Hukum dan HAM.

LBH Pers Surabaya menilai SE Dirjenpas dapat membatasi dan menghalang-halangi tugas jurnalistik, yang telah dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Selain itu, SE Dirjenpas juga melanggar hak sipil dan politik tahanan/narapidana yang dijamin dalam konstitusi. Apa pun status hukumnya, tahanan/narapidana tetap mempunyai hak sipil dan politik untuk menyampaikan pendapat.

Sanksi pidana hanya ditujukan untuk membatasi kebebasan badan (hukuman badan) bagi pelanggar hukum. Selain pembatasan ini, setiap orang, termasuk tahanan/narapidana, tetap mempunyai hak-hak sipil dan politik yang lain dan diakui dalam hukum nasional maupun internasional sehingga harus dihormati.

"Sebagai bagian dari Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Pemasyarakatan seharusnya justru menjadi agen penting dalam upaya mempromosikan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia," ujar Athoillah.

LBH Pers Surabaya menduga, keluarnya surat edaran itu terkait dengan banyaknya pemberitaan mengenai praktik mafia dan berbagai penyimpangan lain di dalam rutan/lapas.

Sayangnya, berbagai pengungkapan penyimpangan tersebut justru direspons dengan langkah mundur, yakni mensterilkan rutan/lapas dari pantauan publik, khususnya media/wartawan.

"Seharusnya Dirjen Pemasyarakatan mengapresiasi media yang berhasil membuktikan adanya praktik menyimpang di dalam rutan/lapas," katanya.

Ia menambahkan, jika Dirjenpas berniat untuk membersihkan rutan/lapas dari berbagai penyimpangan dan mafia, harusnya melibatkan pihak lain, termasuk media/wartawan, selain upaya pembenahan internal.

menurut ia, berbagai penyimpangan yang terjadi sangat mungkin disebabkan tertutupnya institusi tersebut sehingga menyuburkan praktik mafia dan kongkalikong jahat.

"Media harus dipandang sebagai mitra strategis dalam melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran," tambahnya.

Terkait hal itu, LBH Pers Surabaya mendesak Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Dirjen Pemasyarakatan untuk mencabut surat edaran tersebut, serta meminta Dewan Pers mengambil langkah aktif dalam menyikapi munculnya surat edaran ini.(*)

(T.A052/D010)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011