Kau telah melukai banyak orang, tapi Tuhan mengampunimu dan saya memaafkanmu...
Charleston, South Carolina (ANTARA News) - Saat lelaki muda berkulit putih yang dituduh membunuh sembilan orang di gereja bersejarah warga kulit hitam di South Carolina berdiri tenang dan tanpa ekspresi dalam sidang di pengadilan Jumat (19/6), kerabat korban pembunuhan itu satu per satu berhadapan dengannya, dalam tangis mengungkapkan kedukaan dan menawarkan pemaafan.

Dylann Roof (21), yang menurut polisi menghabiskan satu jam mempelajari Alkitab bersama para anggota paroki di gereja berusia hampir 200 tahun Emanuel African Methodist Church di Charleston sebelum melepaskan tembakan ke mereka, tampak berdiri tenang di hadapan para hakim yang memerintahkan dia ditahan tanpa jaminan dari monitor video.

Mengenakan seragam hitam-putih penjara dan diapit oleh dua petugas bersenjata, Roof yang secara formal didakwa melakukan sembilan pembunuhan dan kekerasan menggunakan senjata tidak menunjukkan emosi selama proses itu, bahkan ketika kerabat korban berbicara kepadanya.

"Semoga Tuhan mengampuni jiwamu," kata Felicia Sanders. Anak lelakinya Tywanza Sanders (26) adalah korban paling muda yang tewas dalam serangan Rabu malam itu.

"Kau telah membunuh beberapa orang paling baik yang saya tahu. Setiap serat dalam tubuh saya sakit," katanya seperti dilansir kantor berita Reuters.

Sahabat keluarga Felicia Sanders dalam wawancara dengan stasiun televisi CNN mengatakan bahwa dia selamat dari penembakan karena berpura-pura mati dengan tidur di lantai sambil memeluk penyintas lainnya, cucunya yang berusia lima tahun, sementara darah anak lelakinya membasahi pakaiannya.

Menurut teman dan keluarga, Tywanza Sanders berkata kepada penembak saat dia berhenti untuk mengisi ulang senapannya,"Kau tidak harus melakukan ini" yang dijawab tersangka dengan,"Tidak, kalian sudah memperkosa perempuan-perempuan kami dan menguasai negara kami. Saya melakukan apa yang harus saya lakukan."

Roof menatap kosong, dan kadang-kadang melihat ke bawah, ketika Sanders dan empat anggota keluarga korban penembakan yang lain berbicara tentang bagaimana dia disambut ke gereja oleh sembilan orang yang dia bunuh.

Serangan di gereja yang disebut "Mother Emanuel" karena peran kuncinya dalam sejarah Afrika-Amerika itu terjadi setelah gelombang protes di seluruh Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir mengenai pembunuhan polisi dan penggunaan kekuatan berlebihan terkait ras dan bias dalam sistem pengadilan pidana.

Pertumpahan darah di Charleston menandai serangkaian penembakan massal fatal di Amerika Serikat.

Aksi kekerasan itu telah memperbarui debat nasional antara para pendukung pengetatan pengendalian kepemilikan senapan dan pendukung akses tak terkekang pada senjata api.

Presiden Barack Obama mengatakan penembakan terkini menunjukkan "hawar" (penyakit menular) rasisme masih ada di Amerika.


Tak ada ruang

Roof sedikit berbicara pada sidang perdananya, hanya menjawab, "Ya, Pak" atau "Tidak, Pak" merespons pertanyaan para hakim serta menyebut usianya.

Kerabat korban masuk ke ruang sidang berdua atau bertiga sebelum Roof muncul. Mereka tampak tenang saat menatap terdakwa, yang ditangkap di Shelby, North Carolina, Kamis.

Selain Tywanza Sanders, korban pembunuhan yang lain meliputi senator Demokrat Clementa Pinckney (41); DePayne Middleton Doctor (49); Sharonda Coleman Singleton (45); Cynthia Hurd (54); Susie Jackson (87); Ethel Lance (70); Myra Thompson (59), dan Daniel Simmons (74).

Roof bisa dihukum mati jika terbukti bersalah. Gubernur South Carolina Nikki Haley mendesak para penuntut mengupayakan hukuman mati terhadap dia.

Namun keluarga korban menawarkan maaf dalam sidang di pengadilan.

"Saya tidak akan pernah berbicara dengannya lagi. Saya tidak akan pernah memeluknya lagi," kata anak perempuan Lance, Nadine Collier, yang mengatakan kepada Roof, "Kau telah melukai banyak orang, tapi Tuhan mengampunimu dan saya memaafkanmu."

Keluarga terdakwa, dalam penampakan pertama mereka ke publik sejak penembakan, menyampaikan pernyataan lewat pengacara Roof, menyatakan "simpati dan duka cita mendalam."

"Kata-kata tidak bisa mengungkapkan keterkejutan kami, berduka dan tidak percaya dengan apa yang terjadi malam itu. Kami terpukul dan berduka atas kejadian itu," demikian pernyataan itu.

Tuntutan rasial dalam perkara penembakan itu menjadi resonansi khusus di Charleston, yang pada masa lalu merupakan pelabuhan terbesar untuk perdagangan budak Amerika Serikat dan tempat tembakan pertama dilepaskan selama Perang Sipil Amerika dalam pertempuran Fort Sumter, garnisun Union di Charleston Harbor.

"Ini bukan semata penembakan massal, bukan semata masalah kekerasan bersenjata, ini adalah kejahatan kebencian ras dan harus dihadapi demikian," kata Cornell William Brooks, presiden National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) yang dibentuk 1909 untuk menentang hukuman mati tanpa sidang di Amerika Serikat.

Pada Jumat malam, ratusan orang berduka memenuhi salah satu ruangan kampus College of Charleston untuk berdoa bagi korban. Di satu titik, dengan arahan pemandu kur, kerumunan orang multi-ras itu melantunkan dua himne.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015