Jakarta (ANTARA News) - Hari raya Idul Fitri sangat lekat dengan tradisi kuliner.  Oleh sebab itu banyak pasar diserbu oleh masyarakat termasuk pasar bebek Marunda Jakarta Utara, walau hewan ini bukan merupakan makanan favorit selama Lebaran.

Pasar yang terletak di tepi Jalan Arteri Marunda dan berbatasan dengan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda itu sudah berdiri sejak tahun 1980 dan terdapat ratusan pedagang dengan kios semi permanen terbuat dari bambu dan terpal.

Pada 2014 pemerintah DKI Jakarta sempat meminta pedagang untuk pindah ke lokasi lain karena masalah limbah unggas serta menyebabkan kemacetan lalulintas. Namun sampai saat ini pasar itu masih beroperasi bahkan memakan satu meter badan jalan.

Lokasi pasar yang tidak aman karena lalulintas truk-truk gandeng dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju kawasan pergudangan di Marunda, ternyata tidak menyurutkan minat pembeli untuk mencari unggas di pasar itu.

"Pilihannya banyak, mau bebek nila, bebek leher panjang atau ayam ada di sini. Banyaknya pedagang bikin pembeli punya banyak pilihan," kata Supri yang mampir ke Pasar Bebek selepas bekerja shift malam pada pabrik pengolahan besi di Jakarta Utara, Selasa.

Tidak hanya beragam jenis bebek yang diperdagangkan, namun sejumlah jenis ayam dan angsa pun dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp75 ribu sampai Rp200 ribu per ekor.

Harga tersebut dinilai wajar oleh penjual karena permintaan unggas selalu tinggi menjelang lebaran.

"Ada kebiasaan sembelih bebek buat dimasak untuk lebaran. Jadi harga segitu wajar-wajar saja dan tetap ada yang membeli karena kebutuhan," kata Eko pedagang Pasar Bebek.

Pasar ini juga menyediakan jasa potong dan cabut bulu unggas untuk pembeli yang enggan menyembelih di rumah. Ongkos jasa untuk potong dan cabut bulu bervariasi mulai Rp5 ribu hingga Rp20 ribu tergantung jenis unggas.


Pedagang musiman


Tingginya permintaan saat Ramadhan dan menjelang Lebaran juga memunculkan pedagang unggas musiman. Pada hari biasa terdapat 100 pedagang namun pada musim lebaran bisa bertambah hingga 200 pedagang.

Pedagang musiman tersebut umumnya berprofesi sebagai tukang ojek, nelayan, kuli bangunan, dan supir yang memelihara bebek di rumah kemudian menjualnya pada momen lebaran.

Pedagang musiman tidak memiliki kios semi permanen seperti pedagang lama. Mereka hanya mengikat beberapa ekor unggas pada sepeda motor kemudian menjajakannya di pinggir jalan Arteri Marunda.

"Saya kebetulan kalau pagi bawa piaraan bebek ke sini. Hasilnya lumayan buat beli baju lebaran. Kalau malam saya tetap ngojek," kata Yosep padagang dari Taruma Jaya, Bekasi.

Yosep memelihara 20 bebek dan ayam di rumahnya kemudian menjualnya setiap Idul Fitri dan Idul Adha untuk uang tambahan.

"Hasil dari bebek bisa dibilang THR (tunjangan hari raya) buat keluarga saya, bisa dapet Rp 2 juta kalau laku 20-25 bebek," katanya sambil menurunkan bebek dari bagian belakang motorna.

Kendati banyak penjual unggas dadakan namun pedagang yang sudah menetap lama tidak terganggu karena sudah memiliki pembeli langganan.

"Yang di depan itu (pedagang dadakan), mungkin pembelinya satuan. Kami pedagang lama sudah memiliki pelanggan dari rumah makan pecel bebek dan ayam yang sehari bisa memesan 100 ekor," kata Tohir yang sudah berdagang 15 tahun di lokasi itu.

Pedagang juga menganggap banyaknya saingan menjadi keuntungan bagi pembeli karena bisa memilih bebek yang sehat dengan harga yang sesuai.

Di sisi lain membludaknya pembeli dan penjual menimbulkan limbah unggas berupa bulu dan kotoran, kemacetan lalu lintas, dan kecelakaan akibat tersenggol kendaraan yang melintas di jalan arteri yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Kawasan Pegudangan Marunda Center Bekasi itu.

Oleh Alviansyah Pasaribu
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015