Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah, serta perhatian dari seluruh masyarakat. 

Kesehatan adalah suatu kondisi sehat, baik secara fisik, mental/jiwa serta sosial, yang memungkinkan setiap orang dapat hidup secara produktif.

Beban penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Menurut Riskesdas 2014 terdapat 1 juta jiwa pasien yang mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan. 

Pesatnya pertumbuhan manusia dan beban hidup yang meninggi dapat membuat orang menjadi depresi. Data Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes menyebutkan bahwa masyarakat Jakarta rentan terkena sakit jiwa yaitu depresi, alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia dan obsesif kompulsif. 

Menurut data WHO depresi menduduki peringkat ke 2 beban global akibat penyakit pada tahun 2020. Masalah kesehatan jiwa banyak terjadi pada usia produktif, bahkan sejak usia remaja, masa kehamilan dan pasca persalinan yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.

Dalam Rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober, Stigmatisasi terhadap “Orang Gila” masih menjadi masalah, di mana orang yang mengalami gangguan jiwa masih sering dikucilkan, dijauhi bahkan dipasung.

Masalah stigmatisasi terhadap “Orang Gila” masih terus menjadi momok yang harus dihilangkan dimasyarakat. Selain itu diskriminasi terhadap mereka juga masih sering terjadi. 

"Kini bukan saatnya disebut Orang Gila, tetapi Orang Dengan Masalah Kejiwaan. Selain itu penyakit mereka masih selalu dikaitkan dengan supranatural," kata Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Dr Eka Viora dalam temu media, 9/10 di Kementerian Kesehatan Jakarta.

Padahal, lanjut Eka Viora, masalah gangguan kejiwaan dapat disembuhkan jika sedini mungkin diobati.

Untuk  mencegah masalah gangguan jiwa ini terjadi lebih banyak lagi, Eka Viora menjelaskan, perlunya peningkatan kesadaran (awareness) dari setiap masyarakat untuk menghilangkan stigmatisasi bagi penderita gangguan kejiwaan.

Lebih lanjut ia mengatakan, kelompok remaja sangat rentan terkena masalah gangguan kejiwaan. "Banyak faktor yang mempengaruhi, mau itu miras, narkoba, dan hal-hal negatif yang berimplikasi terhadap kenakalan remaja, tawuran, bahkan bullying," sebutnya.

Saat ini, layanan kesehatan primer telah menerima pengobatan masalah gangguan jiwa. 

"Dari 155 penyakit yang ditangani di puskesmas, tidak ada alasan bagi tenaga puskesmas untuk tidak melayani pengobatan kesehatan jiwa," jelasnya.

Dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang akan dipusatkan di Taman Waduk Pluit, Jakarta Utara, 11 Oktober, Kementerian Kesehatan juga akan melaunching aplikasi android kesehatan jiwa.

"Aplikasi ini berguna untuk mendeteksi sedini mungkin tingkat stress jiwa kita. Jadi aman tidak ada orang yang akan tahu, sifatnya pribadi," ujarnya.

Lewat aplikasi ini kita bisa mengecek status kesehatan mental.  “Jadi kita punya self report questionaire. Jadi kuisioner yang bisa diisi sendiri. Nanti mereka akan isi itu. Nanti ada 20 pertanyaan, ini sangat simpel sekali. Nanti kalau sudah di atas 5, mereka ya harus konsultasi, tambahnya.

Eka menjelaskan mereka yang memiliki gangguan jiwa dapat berkontribusi positif kepada masyarakat selama mereka menerima hak-haknya dan dirawat dengan benar.

Selain itu, akan ada juga pemecahan rekor MURI untuk lukisan terbanyak yang dibuat oleh orang dengan gangguan jiwa.

Pada HKJS 2015 ini tema global yang diangkat adalah  "Dignity in Mental Health (Martabat dalam kesehatan jiwa)" dengan tema nasional menuju pelayanan kesehatan jiwa yang bermartabat.

Berita dan Info kesehatan  lebih lanjut dapat dilihat di laman  http://www.depkes.go.id dan http://www.sehatnegeriku.com.[*]

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2015