Bogor (ANTARA News) - Sebagai salah satu upaya mengatasi banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya setiap tahun, Institut Pertanian Bogor (IPB) memperkenalkan teknologi lubang serapan biopori yang relatif mudah diaplikasikan mulai dari skala rumahtangga hingga skala lebih luas. Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan, kata dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Kamir R Brata MS di Bogor, Selasa. Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. "Selama ini yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran," kata dia. Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. "Cara ini disamping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta," kata Kamir. Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori. Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. "Tidak perlu khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik," ujarnya. Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. "Saya sudah membuktikan, dengan membuat lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur," kata dia. Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air. Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang serapan yang diisi dengan sampah organik. "Jangan khawatir ada tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air," kata Kamir. Lebih lanjut ia menegaskan, aplikasi teknologi tepat guna ini memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan manfaatnya untuk mengatasi banjir, kata Kamir.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007