Jakarta (ANTARA News) - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan telah mengebiri hak pekerja karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Pasal 88 Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa penetapan upah minimum harus berdasarkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL)," kata Mirah Sumirat melalui siaran pers diterima di Jakarta, Jumat.

Mirah mengatakan PP Pengupahan telah menghilangkan survei KHL yang diamanatkan Undang-Undang Ketenagakerjaan karena hanya berdasarkan pada angka upah minimum tahun sebelumnya ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, Mirah menilai pemerintah telah tersandera kepentingan pengusaha dan pemodal sehingga menerbitkan peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

"Berdasarkan fakta itu, maka buruh dan pekerja di Indonesia kembali melakukan aksi turun ke jalan untuk meminta Presiden Joko Widodo membatalkan PP Pengupahan. PP tersebut sangat merugikan pekerja dan rakyat," tuturnya.

Mirah mengatakan Presiden Jokowi harus mendengarkan aspirasi pekerja karena yang dituntut adalah penegakan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dia meminta pemerintah tidak mengebiri hak rakyat dalam mendapatkan kesejahteraan hidupnya.

Karena itu, Mirah menyatakan Aspek Indonesia bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan elemen buruh lainnya akan terus memperjuangkan hak-hak pekerja dikembalikan.

Aspek Indonesia juga meminta seluruh kepala daerah untuk mengabaikan PP Pengupahan dan tetap menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan saat menetapkan upah minimum masing-masing daerah.

"Bila kepala daerah tetap menggunakan PP Pengupahan dalam menetapkan upah minimum, maka telah terjadi pelanggaran berjamaah dalam upaya memiskinkan rakyat," katanya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015