Jakarta (ANTARA News) - Konfigurasi baru di Timur Tengah sulit diramalkan karena konflik-konflik berkecamuk dalam beberapa tahun terakhir belum menunjukkan tanda-tanda mereda, bahkan stabil.

Masyarakat internasional sangat mencemaskan perkembangan-perkembangan dramatis di kawasan itu yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di sebagian besar negara, jumlah korban yang meninggal dan luka-luka, peningkatan jumlah pengungsi sebagai tragedi kemanusiaan. Selain itu, mimpi Palestina merdeka dari Israel masih harus menempuh jalan panjang.

Indonesia memandang Timur Tengah sebagai kawasan paling penting bagi kerbijakan luar negerinya. Sesuai dengan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan prioritas-prioritas kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, setidaknya ada empat dimensi kepentingan nasional Indonesia di Timur Tengah.

Pertama, menghapus kolonialisme dan memelihara perdamaian dan stabilitas dunia; kedua, untuk mengoptimalkan hubungan ekonomi Indonesia; ketiga, untuk melindungi warga negara Indonesia di kawasan itu; keempat, untuk mengantisipasi dan menyelesaikan penyebaran terorisme global dari kelompok-kelompok radikal yang muncul di Timur Tengah.

"Kendati situasi politik yang tidak menentu, Timur Tengah adalah salah satu kawasan yang memiliki potensi ekonomi sangat besar," kata Duta Besar Salman Al Farisi, penjabat Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI dalam sebuah forum yang diadakan badan itu, baru-baru ini.

Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Kepala Pusat Kajian Asia Pasifik dan Timur Tengah Hery Sarifudin, dia mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di negara-negara Timur Tengah berlangsung cepat karena sebagian besar besar merupakan pengekspor minyak dan gas.

Menurut dia, Timur Tengah telah menjadi mesin ekonomi dunia dan pasar potensial bagi produk-produk dunia serta sumber wisatawan internasional dan investasi asing.

Berdasarkan data tahun 2014, jumlah penduduk di kawasan itu mencapai 373.110.000 jiwa dengan sekitar 45 juta tinggal di Teluk. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan importir makanan. Kawasan itu juga memiliki tingkat konsumsi domestik relatif tinggi.

Khusus hubungan Indonesia dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Indonesia mengekspor ke kawasan itu, antara lain otomotif, furnitur, kertas, karet, daging, ikan, dan makan laut, besi dan baja, peralatan elektronik, sayuran dan buah-buahan, serta produk pertanian, sedangkan impor utamanya dari GCC ialah minyak dan gas, bahan kimia organik, produk peternakan, karpet, kurma, dan lemak hewani.

"Invetasi GCC di Indonesia relatif masih kecil dibanding negara-negara, seperti Malaysia, Thailand dan Singapura," kata Bahris Paseng, Deputi Asisten Kerja Sama Ekonomi Timur Tengah dan Afrika dan Eropa, Kementerian Koordinator Urusan Ekonomi.

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab pada tanggal 11 sampai dengan 15 September mencerminkan salah satu tonggak penting dalam diplomasi ekonomi Indonesia di Timur Tengah dan menunjukkan pandangan Indonesia mengenai pentingnya Timur Tengah sebagai pasar nontradisional yang potensial.

Inilah lawatan pertama Presiden Jokowi ke Timur Tengah dalam tahun pertama masa jabatanya.

"Dalam kunjungan itu Presiden Joko Widodo menyatakan komitmen untuk mengunjungi Timur Tenegah tiap tahun," kata Duta Besar Nurul Aulia, Direktur Urusan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Menyusul kunjungan tersebut, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al Jubeir mengungjungi Indonesia pada bulan Oktober. Inilah lawatan pertama seorang menteri luar negeri Saudi ke Indonesia dalam 40 tahun.

Kunjungan itu diikuti oleh lawatan para pemimpin perusahaan minyak dan gas Saudi, Aramco, ke Indonesia. Perseroan Terbatas (PT) Pertamina dan Saudi Aramco membuat kesepakatan awal kerja sama sektor energi dengan kontrak investasi senilai lima miliar dolar AS setara dengan Rp68,5 triliun.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi dari Timur Tengah di Indonesia sejak 2010 hingga semester pertama 2015 mencapai 440 juta dolar AS di luar sektor hilir gas dan minyak serta finansial.

"Invetasi itu mencakup 235 proyek dan menyerap lebih 6.000 tenaga kerja," kata Dubes Nurul Aulia.

Menurut dia, realisasi investasi dari negara-negara Timur Tengah di Indonesia dalam lima tahun terakhir tumbuh rata-rata 49 persen per tahun. Angka ini masih jauh dari potensi kerja sama antara Indonesia dan negara-negara Timur tengah.

Para investor Timur Tengah, kata dia, biasanya lebih suka proyek yang sepenuhnya sudah dirumuskan dan direncanakan untuk investasi dan mereka biasanya tidak siap untuk menerima produk-produk mentah.

"Masalahnya ialah mereka biasa ingin memperoleh keuntungan secepat mungkin, sementara skim kita seperti dalam sektor perminyakan dan infrastruktur, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk meraih keuntungan," katanya.

Akibatnya, relatif banyak kesepakatan awal ditandatangani, tetapi mereka kemudian mengakhiri kontrak karena terlalu lama menunggu untuk memetik hasil.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015