Jakarta (ANTARA News) - Target penuntasan pembangunan PLTGU Jawa 1 berkapasitas 2X800 megawatt dengan investasi 2 miliar dolar AS berpotensi tidak tercapai pada 2019, karena mayoritas konsorsium perusahaan yang ikut tender menjadikan lahan reklamasi sebagai calon lokasi proyek.

"Meskipun ada upaya percepatan pembangunan pembangkit listrik di lahan reklamasi, proses rekalamasi juga tidak mudah. Bahkan lebih sulit dan lebih lama dibanding pembebasan tanah," kata Anggota Unsur Pemangku Kepentingan (AUPK) Dewan Energi Nasional, Syamsir Abduh di Jakarta, Rabu.

Tender proyek pembangunan PLTGU Jawa 1 diikuti empat perusahaan konsorsium, yakni Mitsubishi-Pembangkitan Jawa Bali-JERA-Rukun Raharja, Adaro-Semb Corporation, Pertamina-Marubeni-Sojits, dan Medco-Kepco-Nebras.

Selain Pertamina yang mengajukan lokasi di Cilamaya, Kabupaten Karawang, tiga perusahaan konsorsium lainnya mengajukan lokasi di Muara Tawar, Kabupaten Bekasi yang sebagian lahan merupakan lahan reklamasi.

Sesuai "request for proposal" (RFP) dari PLN yang dibuat oleh konsultan Ernst & Young sebagai kuasa PLN untuk melelang pekerjaan PLTGU Jawa, rencana titik serah listrik bisa dilakukan di dua titik yaitu Muara Tawar, Bekasi dan Cibatu Baru (dekat dengan Cilamaya), Karawang.

Peluang lokasi ini yang sangat menguntungkan bagi konsorsium Pertamina karena bisa menggunakan Cilamaya untuk membangun PLTGU. Sedangkan bagi peserta yang lain bisa membangun PLTGU tersebut di dekat Muara Tawar harus dengan cara mereklamasi pantai Muara Tawar yang sangat tidak mudah dilakukan.

Menurut Syamsir, ketersediaan lahan merupakan faktor penting dan mutlak untuk pembangunan pembangkit listrik dan sangat menentukan keberhasilan proyek pembangkit listrik.

Penyedian lahan merupakan masalah utama dari delapan masalah pembangunan listrik di Indonesia, khususnya untuk proyek pembangkit 35 ribu megawatt. Tujuh masalah lainnya adalah negosiasi harga, pengadaan, perizinan, kinerja pengembang, manajemen proyek, koordinasi lintas sektor, dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) percepatan pembangunan.

Syamsir menambahkan jika PLN memilih lokasi PLTGU di lahan reklamasi kemungkinan menghadapi gugatan dari berbagai komponen masyarakat, mulai dari LSM hingga pemerhati lingkungan, sehingga terkendala dengan upaya mempercepat penyelesaian pembangunan pembangkit.

"Selain berpotensi waktu penyelesaian lebih lama, juga dihadapkan dengan persoalan lingkungan atas lahan reklamasi," ungkap dia.

Dwi Sawung, pengkampanye isu urban dan energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan saat ini ada gugatan terhadap lahan reklamasi yang dimenangkan penggugat di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Artinya, reklamasi ilegal. Jadi bisa sewaktu-waktu dibongkar," kata dia.

Menurut dia, proyek pembangunan di atas lahan reklamasi juga membutuhkan proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang berbeda dengan di lahan nonreklamasi. Selain membutuhkan perhitungan arus laut, juga ada perhitungan terkait dengan pendinginan dan tapak lahan.

(F004/C004)

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016