Cuma nambah data."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekjen Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni mengaku dikonfirmasi soal data oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik/KTP-E).

KPK memeriksa Diah sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.

"Cuma nambah data," kata Diah seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Namun, Diah enggan berkomentar lebih lanjut terkait data apakah yang dikonfirmasi oleh penyidik KPK tersebut.

"Tanya sama penyidik," kata Diah.

Selain memeriksa Diah, KPK juga dijadwalkan memeriksa tiga saksi lainnya yang seluruhnya berasal dari pihak swasta, yaitu Winata Cahyadi, Eko Purwoko, dan Gugun.

Sebelumnya, KPK juga telah memeriksa Diah Anggraeni sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong pada Selasa (18/4).


Baca juga: (KPK periksa mantan Sekjen Kemendagri untuk kasus KTP elektronik)


"Ada kebutuhan pemeriksaan untuk saksi tentu saja dan keterangan saksi dibutuhkan terkait dengan posisi saat itu di Kemendagri termasuk juga beberapa hal yang dikonfirmasi kembali yang sudah muncul di dalam dakwaan," kata Febri.

Sebagai contoh, kata Febri, terkait relasi saksi dengan dua terdakwa, relasi saksi dengan tersangka dan juga relasi pengetahuan saksi terkait dengan proyek KTP-e tersebut yang perlu kami konfirmasi kembali dan juga perdalam.

"Karena sebagian sudah muncul di fakta persidangan dan Diah Anggraeni juga sudah memberikan keterangan di persidangan," ucap Febri.

Sebelumnya, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini mengaku menerima uang 500 ribu dolar AS terkait proyek KTP Elektronik (KTP-E), yang sekarang kasus dugaan korupsinya sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Betul Yang Mulia. Pada sekitar 2013 di masa akhir jabatan kami, dihubungi Pak Irman terdakwa I waktu itu mengatakan ada sedikit rejeki," kata Diah Anggraeni ketika menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim John Halasan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3).

Diah mengaku pertama kali menerima uang dari Irman (Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Dukcapil) senilai 300 ribu dolar AS, yang dikirim melalui stafnya, ke rumah Diah.

Mantan Sekjen Kemendagri ini juga mengaku menerima uang dari Andi Agustinus senilai 200 ribu dolar AS dan sempat menanyakan uang apa dan Andi menjawab tidak ada yang memikirkan dirinya.


Baca juga: (KPK dalami perusahaan ikut tender proyek KTP-e)


Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.


Baca juga: (KPK periksa Miryam S Haryani)

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017