Jakarta (ANTARA News) - Mantan anggota DPR dari Fraksi PDI-P Emir Moeis mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pemohon berpendapat bahwa hak-hak konstitusional yang secara tidak langsung diberikan oleh norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, itu telah tereliminir dengan berlakunya norma undang-undang dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," ujar kuasa hukum Emir, Yusril Ihza Mahendra di Gedung MK Jakarta, Rabu.

Yusril mengatakan norma tersebut telah menghilangkan asas legalitas dan juga sekaligus menghilangkan hak Emir selaku Pemohon untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum.

Adapun Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangan saksi yang tidak hadir itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan.

Menurut Yusril, ketentuan itu berpotensi menghilangkan hak konstitusional seorang terdakwa.

"Ini rentan diselewengkan oleh jaksa penuntut umum, sebab keterangan saksi tersebut tidak bisa dibantah oleh saksi-saksi yang lain, tidak bisa dikonfrontir dengan keterangan yang lain, tidak bisa ditanya oleh terdakwa," kata Yusril.

Selain itu Yusril berpendapat hakim pun tidak bisa bertanya dan melihat ekspresi ketika seorang saksi memberikan kesaksian, namun tidak dihadirkan dalam persidangan.

Emir menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004 lalu.

Saat itu, Pemohon berkali-kali meminta jaksa penuntut umum dan majelis hakim menghadirkan Presiden Direktur Pacific Resources Pirooz Muhammad Sharafih yang berkewarganegaraan asing, namun tidak pernah didatangkan.

"Dia (Muhammad Sharafih) diperiksa di Amerika Serikat, bukan di Kedutaan Indonesia, tidak datang di persidangan tapi dibacakan keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan), diterima oleh majelis hakim, lalu Pak Emir dipidana," papar Yusril.

Padahal, sambung Yusril, dari sejumlah saksi yang bisa dihadirkan tidak ada satu pun yang keterangannya justru memberatkan Pemohon. Belakangan diketahui bahwa tanda tangan dalam surat keterangan tersebut adalah palsu.

Atas kasus yang menjeratnya itu, Pemohon divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara, dan kini Emir selaku Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya.

Pewarta: Maria Rosari
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017