...MKD perlu mengadakan sidang untuk memutuskan sikap mereka atas perilaku yang ditunjukkan oleh Setya Novanto."
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menyatakan bahwa sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sesegera mungkin memfungsikan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil sikap terhadap Setya Novanto.

"Sepatutnya DPR secara kelembagaan menunjukkan posisinya. Dengan berkali-kali mangkir dari kewajibannya untuk diperiksa KPK selaku tersangka, Setya Novanto tidak menunjukkan teladan yang sepatutnya sebagai Ketua DPR," kata Miko melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Selain itu, kata dia, ditambah dengan kejadian terkini di mana Setya Novanto hendak dijemput oleh KPK, patut dipertanyakan itikad baiknya dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang taat hukum.

Sehubungan dengan fakta-fakta di atas, PSHK berpendapat bahwa sebaiknya DPR sesegera mungkin memfungsikan MKD untuk mengambil sikap terhadap Setya Novanto.

"Tujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Mangkir hingga berkali-kali hingga menghilang saat dijemput paksa oleh KPK harus disikapi sebagai pengabaian kewajiban hukum seorang anggota DPR," tuturnya.

Padahal, kata dia, kode etik dalam Pasal 2 mencantumkan bahwa "anggota bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil dan mematuhi hukum".

"Dengan pertimbangan ini, MKD perlu mengadakan sidang untuk memutuskan sikap mereka atas perilaku yang ditunjukkan oleh Setya Novanto," kata Miko.

Menurutnya, proses persidangan oleh MKD itu tidak mengesampingkan penyidikan, penuntutan. dan pemeriksaan sidang pengadilan nantinya terhadap Setya Novanto.

"Proses pengusutan oleh KPK adalah proses yang berbeda dengan proses di MKD. Dalam konteks ini, MKD berfungsi untuk menjaga marwah dan kepercayaan publik terhadap institusi DPR. Proses peradilan terhadap Setya Novanto sudah mulai berjalan dan seharusnya tetap berjalan secara transparan dan akuntabel," ungkap Miko.

Untuk diketahui, Setya Novanto saat ini sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah sebelumnya sempat dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau pasca mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau pada Kamis (16/11) malam.

Sebelumnya, KPK secara resmi menetapkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) kepada Setya Novanto pada Kamis (16/11) malam.

Status DPO diputuskan setelah Setya Novanto tidak kunjung datang atau menyerahkan diri ke KPK.

"Sampai akhirnya diputuskan pembicaraan internal KPK. Akhirnya diputuskan oleh pimpinan KPK mengirimkan surat ke Mabes Polri. Tembusan ke Kapolri dan NCB Interpol menjadikan nama yang bersangkutan masuk ke dalam DPO," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis (16/11) malam.

Menurut Febri, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf h dan Pasal 12 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK bisa meminta Polri untuk membantu pencarian itu.

Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-e pada Jumat (10/11).

Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-E 2011-2012 Kemendagri.

Setya Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atas nama tersangka.

Setya Novanto pun telah mengajukan praperadilan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (15/11).

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar itu juga pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-e pada 17 Juli 2017 lalu.

Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017