Semarang (ANTARA News) - Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyebutkan kasus perkawinan dini di Jawa Tengah cenderung tinggi.

"Kami mendapatkan data yang meminta dispensasi menikah karena usia kurang dari 16 tahun di Jateng ada 30 ribu orang," kata Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartika Sari di Semarang, Senin.

Data pengajuan dispensasi periode 2016 itu diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama Jateng pada akhir tahun lalu.

Hal itu diungkapkannya usai pencanangan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Semarang yang diprakarsai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Dian menyebutkan dari 30 ribu pengajuan dispensasi menikah dengan usia di bawah 16 tahun itu, hanya 2.000 dispensasi yang disetujui.

Akan tetapi, kata dia, 28 ribu anak yang dispensasinya tidak disetujui dimungkinkan tetap menikah dengan cara menikah siri (tidak dicatatkan) atau menaikkan usianya.

"Faktanya, di Jateng ada 30 ribu anak di bawah 16 tahun yanh dinikahkan. Perkawinan anak merupakan fenomena gunung es. Sebanyak 30 ribu ini yang kelihatan di permukaan, tetapi di bawahnya lebih banyak," katanya.

Diakuinya, Jateng termasuk daerah dengan angka perkawinan dini tertinggi di Indonesia, selain Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ada banyak alasan terjadinya perkawinan anak yang ternyata dikehendaki orangtuanya, lanjut dia, seperti melepaskan beban ekonomi ketika anaknya sudah dinikahkan.

"Ya, memang ada yang takut (kalau tidak dinikahkan, red.) ada prasangka, seperi pergaulan bebas. Namun, lebih banyak orang tua yang ingin segera melepaskan tanggung jawab pengasuhan," katanya.

Untuk perkawinan anak yang terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan, kata dia, jumlahnya relatif kecil tidak sampai 10 persen.

"Kondisi di tiap daerah berbeda-beda, seban ada beberapa daerah yang mengawinkan anaknya untuk menarik laki-laki masuk rumah untuk menambah tenaga kerja sektor pertanian. Biasanya, di daerah pertanian," katanya.

Akan tetapi, Dian mengatakan perkawinan anak sesungguhnya banyak terjadi karena faktor orangtua yang tidak punya bekal cukup dalam mengasuh anak-anaknya.

Ia mengatakan pola pengasuhan dalam keluarga yang terjadi selama ini berlangsung secara turun temurun, mulai ayah-ibu meniru pola asuh kakek-neneknya, dan seterusnya.

"Sebagian besar di daerah pedesaan, pengasuhan berjalan berdasarkan pegalaman, tanpa pengetahuan tanpa pendidikan," katanya.

Di sisi lain, kata dia, akses pendidikan di daerah-daerah juga masih terbatas, misalnya hanya ada satu sekolah menengah pertama (SMP) untuk 4-5 desa.

"Kalau sudah lulus SD mau ke mana? SMP-nya saja jauh. Cuma ada satu SMP yang melingkupi 4-5 desa di sekelilingnya. Akhirnya, orangtua memilih tidak menyekolahkan anaknya karena mengeluarkan biaya banyak," katanya.

Sementara itu, Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin mengatakan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak diinisiasi di lima daerah terlebih dulu.

"Kemarin, sudah di Jabar yang dipusatkan di Indramayu, Jateng di Semarang, kemudiam Jatim, dan seterusnya sampai lima kabupaten/kota," katanya.

Yang jelas, kata dia, pada November-Desember 2017 pencanangan gerakan bersama iti difokuskan di lima wilayah, yakni Jabar, Jateng, Jatim, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

"Kenapa? Isu perkawinan anak di Indonesia sudah darurat. Sebanyak satu dari sembilan anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Ada 375 anak perempuan yang menikah setiap harinya," tegasnya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017