Mataram (ANTARA News) - Pawai taaruf dalam rangka memeriahkan Munas Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahdatul Ulama di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat memecahkan Museum Rekor Indonesia dalam hal pengibaran bendera NU raksasa berukuran 60 X 40 meter.

Pawai ta`aruf yang dilangsungkan di kota Mataram, Rabu siang ini, dibanjiri lautan manusia. Peserta pawai dilepas Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, Walikota Mataram, H. Ahyar Abduh, Sekjen PBNU H. Helmy Faisal Zaini dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) H. Imam Nahrowi. Pawai ini semakin semarak dengan hadirnya salah satu kyai khos NU dari NTB, TGH Turmudzi Badaruddin yang juga Dewan Mustasyar PBNU.

Diperkirakan, tak kurang dari 15 ribu warga nahdhiyin dan warga Kota Mataram dan NTB terlibat pada pawai monumental tersebut.

Dalam sambutannya, KH. Said Aqil Siroj mengenang kembali, saat NU mengadakan Munas-Konbes NU di Pesantren Qomarul Huda, Bagu, 20 tahun silam. Kala itu, NU masih dianggap kaum pinggiran oleh pemerintah. Tak heran jika kegiatan ini hanya dihadiri oleh Gubernur NTB kala itu.

"Tapi alhamdulillah walaupun tidak dihadiri secara resmi oleh pemerintah pusat namun menghasilkan keputusan yang penting," tegasnya.

KH. Said Aqil Siroj pun menegaskan bahwa NU di bawah bimbingan para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah akan tetap berkontribusi demi keutuhan bangsa Indonesia.

"Dengan semangat Islam Nusantara kita pertahankan NKRI, Pancasila, UUD dan Bhineka Tunggal Ika," katanya.

Selain pawai ta`aruf, sebelumnya Lakpesdam NU NTB menggelar Bedah Buku Maha Karya TGH. M. Sholeh Hambali. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya TGH. Sohimun Faishal, MA (UIN Mataram), Dr. H. Adi Fadli, MA (penulis buku), Mantan Rektor Unram, Prof. Mansyur Maksum dan Staf Kepresidenan, Munajab, PhD. Bedah buku tersebut dihadiri audiens dari berbagai kalangan akademisi, pemuda, mahasiswa, tokoh-tokoh NU, serta para peserta Konbes NU yang sudah hadir.

Ketua Lakpesdam NU NTB M. Akbar Jadi mengatakan, kegiatan ini digelar untuk mengingatkan para generasi muda karena ada tokoh yang memiliki karya yang perlu digali oleh para generasi muda NU.

Khazanah karya ini perlu dikaji secara akademis, merefleksikan pemikiran TGH. Moch. Sholeh Hambali, karena buku-buku yang ditulis berpesan tentang revolusi mental yang berkaitan langsung dengan moralitas dan akhlak.

Apalagi, di zaman sekarang, semua pihak perlu belajar pada sejarah tokoh-tokoh Islam di masa lalu.

"Tentu kalau kita melupakan ulama, kita akan tersesat," jelasnya.

Staf Kepresidenan, Munajab menegaskan, pemikiran TGH. M. Sholeh Hambali harus diteladani dan maha karyanya menjadi pesan moral untuk dijadikan rujukan terutama jamaah nahdliyin. Sebab, di zaman ini teknologi digital sangat rentan mengubah perilaku masyarakat.

"Sehingga penting untuk kita kembali belajar tentang karya buku-buku yang pernah ditulis," kata dia.

Ansor diminta jadi pagar utama menjaga NKRI
Sementara itu, Kiai kharismatis dari Pondok Pesantren Cidahu, Pandeglang, Banten, KH Abuya Muhtadi, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk siap mengantisipasi paham radikal yang saat ini berkembang.

Sebab itu, ia meminta kepada Gerakan Pemuda Ansor untuk ikut memberi sumbangsih kepada negara dalam upaya mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi terhadap berkembangnya paham radikal agama tersebut.

"Ansor harus mengantisipasi segala kemungkinan. Menjaga negara baik-baik. Sekarang ini banyak ormas-ormas berpaham radikal yang mencoba mengacak-acak negara dan masyarakat," tegas KH Abuya Muhtadi, di depan ratusan kiai muda Ansor se DKI, Banten, dan Jawa Barat, di Ponpes Cidahu, Pandeglang, Banten, Senin (20/11).

Sekitar 400 kiai muda yang tergabung dalam Rijalul Ansor tiga provinsi tersebut datang ke Ponpes milik Abuya Muhtadi untuk mengikuti Halaqoh Kiai Muda Gerakan Pemuda Ansor bertema "Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Langit Dijunjung", yang berlangsung hingga Senin (20/11) malam. Hadir sebagai pembicara Khatib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan Ketua Lesbumi KH Agus Sunyoto.

Ketua PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas yang hadir dalam acara itu mengatakan, acara halaqoh ini salah satunya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui para kiai muda untuk mewaspadi penyebaran paham radikal atas nama agama.
 
"Radikalisme agama ini mengancam keutuhan NKRI dan sendi-sendi kehidupan beragama yang majemuk, terutama membenturkan sesama umat Islam. Melalui para kiai muda Ansor, kita mengajak jemaah agar waspada," kata Gus Yaqut, sapaan akrabnya dalam keterangannya.

Gus Yaqut juga mengingatkan agar setiap dakwah yang dilakukan tak lepas dari khasanah dan kearifan lokal. Sebab, Islam Indonesia adalah hasil dari akulturasi budaya lokal dan agama Islam itu sendiri. 

"Saya mengajak untuk menoleh kembali pandangan Islam di mana bumi kita pijak. Jangan asal impor pemahaman Islam dari luar. Islam Nusantara, yang tidak menafikan budaya lokal, inilah kekuatan Islam Indonesia. Seperti dakwah Walisongo dan kiai-kiai NU," ujarnya.

Ketua Rijalul Ansor Sholahulam Notobuwono sependapat, paham-paham radikal berupaya terus menyusup ke tengah-tengah masyarakat hingga lingkungan pondok pesantren. Ia mengimbau agar warga tidak menelan mentah-mentah jika ada orang atau kelompok tertentu yang menyebarkan ajaran yang dirasa menyimpang.

"Tanya ke kiai atau ulama. Apa yang disampaikan jangan diterima begitu saja," pesannya.

Pewarta: Nur Imansyah A
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017