Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Sosial melakukan penjangkauan dan memberikan perlindungan terhadap anak berinisial MS (10) asal Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, yang viral di media sosial karena menjadi korban kekerasan dari ibu kandung dan ayah tirinya hingga mengalami luka-luka.

"Pekerja Sosial Kementerian Sosial langsung berkoordinasi dengan pihak Penyidik Anak di Polres Seluma dan mendampingi anak korban saat dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Penyidik Anak. Kini kedua orangtua telah diamankan petugas dan ditetapkan sebagai tersangka," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Edi Suharto di Jakarta, Senin.

Dalam keterangan tertulisnya, Edi mengungkapkan kasus ini terjadi pada awal Mei 2018 di Desa Karang Dapo Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma. Pelakunya adalah ibu kandung korban berinisial M (25) dan ayah tiri korban berinisial B (48).

Edi memaparkan kasus ini bermula dari MS yang mengalami kekerasan pemukulan dan penganiayaan oleh orangtuanya.

Berdasarkann hasil asesmen tim Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kementerian Sosial, hampir di sekujur tubuh anak terdapat pukulan.

Ibu kandung melakukan pemukulan apabila anak tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya, terkadang menggunakan benda tumpul atau memukul bagian kepala menggunakan batu cincin.

Dalam kesehariannya, lanjut Edi, MS sering tidak makan karena keadaan ekonomi keluarga yang susah, mencuci pakaian sendiri dan mengasuh adik yang masih kecil. Berdasarkan pengakuan MS, ia mengalami perlakuan kekerasan dan penganiayaan sejak usia tiga tahun.

"Saat ini korban sudah dilindungi oleh Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Seluma. Kami terus memonitor perkembangan anak ini dan akan lakukan yang terbaik bagi tumbuh kembang anak," ujarnya.

Dirjen menjelaskan setiap anak dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76E, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pelanggaran atas undang-undang tersebut mendapat ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

"Aturan ini harus konsisten di terapkan pada pelaku kekerasan pada anak. Ini demi masa depan generasi bangsa, dan membuat efek jera bagi pelaku," tuturnya.

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018