Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil saksi-saksi dari sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan politik pada pekan ini dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Dalam waktu dekat direncanakan minggu ini akan dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi awal dalam kasus ini. Ada dua unsur yang direncanakan diperika akhir minggu ini. Pertama unsur saksi dari BUMN dan yang kedua dari politik," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK pun pada Senin (16/7) hingga Selasa dini hari telah menggeledah di tiga lokasi antara lain ruang kerja tersangka Eni Maulani Saragih di gedung DPR RI Jakarta, kantor pusat Perusahaan Listrik Negara (PLN) Jakarta, dan kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) yang berada di gedung Indonesia Power Jakarta.

"Penggeledahan dilakukan kemarin di tiga lokasi. Selesai ada yang pukul 22.30 WIB di DPR. Ada yang selesai pukul 01.00 WIB atau pukul 02.00 WIB di kantor PLN dan kantor PJB yang berada di gedung Indonesia Power," kata Febri,

Dari tiga lokasi yang digeledah itu, kata Febri, tim KPK mengamankan dan menyita sejumlah dokumen-dokumen penting.

"Dari dokumen itu kami bisa lihat ada beberapa proses proyek PLTU Riau-1 bagaimana ada penunjukan dari pihak swasta di mana ada aktor yang kami amankan dan kami jadikan tersangka. Juga ditemukan informasi yang kami temukan bagaimana skema kerja sama dalam proyek tersebut tentu kami dalami lebih lanjut. Juga ditemukan CCTV dan peralatan alat komunikasi," tuturnya.

Sebelumnya, dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen "fee" 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

"Ini perlu kami dalami lebih jauh sebenarnya bagaimana proses awal sampai dengan kemarin ketika tangkap tangan dilakukan, sejauh mana suap yang kami duga diterima EMS sekitar Rp4,8 miliar tersebut memang secara signifikan bisa memuluskan proses yang terjadi," ungkap Febri.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018