Jakarta (ANTARA News) - Fokus memenjarakan koruptor menurut Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum UI tidak cukup untuk pelaku korupsi.

"Kalau fokus hanya penjara, tapi tidak ada sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, koruptor akan tetap berduit," kata Choky R Ramadhan Ketua Harian MAPPI FHUI di Jakarta, Jumat.

Ia mencontohkan OTT KPK di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, para koruptor masih memiliki uang hingga melakukan suap kepada kepala lapas tersebut.

Karena itu, kata dia, upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tentu tidak berhasil jika menggunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera.

Menurut dia, hukuman yang diancamkan kepada koruptor harus melebihi keuntungan yang diperolehnya agar mereka jera.

"Ironisnya, ancaman maksimal pidana denda yang diatur dalam UU Tipikor hanya Rp1 miliar. Padahal diketahui banyak koruptor yang meraup keuntungan secara tidak wajar melebihi Rp1 miliar," kata Choky.

Dia melanjutkan, UU Tipikor membuka peluang untuk memberi tambahan hukuman berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. "Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara," kata Choky.

Menurut dia, koruptor selaku pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk menambah kekayaannya secara melawan hukum.

Perbuatannya telah diperhitungkan akan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan. Choky mengingatkan, motivasi pertambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi.

Ia menegaskan kembali harus sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, disamping pemenjaraan tetap dilakukan.

Baca juga: ICW usul agar bubarkan penjara khusus koruptor

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018