Depok (ANTARA News) - Perjalanan karir Nur Mahmudi Ismail di Kota Depok, Jawa Barat, dimulai ketika ia terpilih menjadi wali kota setempat periode 2006-2011 setelah mengalahkan calon dari Partai Golkar-PKB Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad.

Ketika itu, Nur Mahmudi Ismail yang berpasangan dengan Yuyun Wirasaputra terpilih pertama kali sebagai wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Keduanya memimpin kota yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota RI tersebut selama lima tahun.

Periode pertama kemenangan Nur Mahmudi sangat dramatis. Betapa tidak? Ketika KPU Kota Depok telah menetapkan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sebagai pemenangnya, kubu Badrul Kamal melakukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Bandung yang akhirnya memenangkan Badrul Kamal.

Kubu Nur Mahmudi yang dimotori oleh PKS tidak tinggal diam. Mereka melakukan langkah hukum berupa Peninjauan Kembali (PK) melalui KPU Kota Depok.

Adnan Buyung Nasution sebagai penasihat hukumnya ketika itu berhasil membawa kemenangan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra.

Kemenangan ini merupakan konsekuensi dari keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan PK yang diajukan Komisi Pemilihan Umum Depok.

Beberapa kalangan mempertanyakan mengapa Nur Mahmudi mau menjadi Wali Kota Depok. Padahal dia sebelumnya menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan era Presiden Abdurrahman Wahid.

"Kalau secara politik saya naik tingkat karena saya dipilih langsung oleh rakyat. Kalau menteri kan tidak dipilih rakyat tetapi ditunjuk presiden," kata Nur Mahmudi Ismail ketika itu.

Ketika memimpin, Nur Mahmudi Ismail dikenal warga Depok sebagai sosok yang mempunyai banyak gagasan untuk memajukan kota yang dipimpinnya.

Walaupun terhadap program-programnya, banyak warga atau kelompok lainnya tidak setuju bahkan menentangnya.

Ada beberapa program yang cukup kontroversial yang dibangun oleh Nur Mamhudi. Misalnya saja program Makan Pakai Tangan Kanan. Beberapa baliho besar di pasang di Jalan Margonda untuk menyosialisasikan program tersebut.

Namun, seiring berjalan waktu, program tersebut tidak gencar lagi dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok ketika itu dan hilang begitu saja.

Program selanjutnya, Nur yang menyandang gelar S3 Doctor of Philosophy Science Food and Science Technology Texas A & M University (Ph.D) adalah One Day No Rice.

Kebijakan sehari tanpa makan nasi ini banyak yang tidak sependapat, termasuk kalangan internal partainya sendiri.

Namun ia tetap terus menjalankan programnya hingga akhir masa jabatannya.

Mantan Menteri Kehutanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengimbau seluruh ASN Depok tidak mengonsumsi beras padi setiap hari Selasa.

Untuk menyukseskannya, kantin yang berada di Bali Kota Depok juga dilarang berjualan nasi setiap hari Selasa. Penjualan nasi diganti dengan umbi-ubian, jagung, dan lainnya.

Selain itu, Nur juga mencanangkan program One Day No Car. Kebijakan ini melarang seluruh PNS dan warga yang ingin masuk ke Balai Kota Depok menggunakan mobil. Jadi PNS ataupun warga yang ada keperluan di pemkot harus menggunakan sepeda motor ataupun berjalan kaki.

Untuk menyukseskannya, Nur Mahmudi sering menggunakan kendaraan umum untuk ke kantor atau juga menggunakan sepeda motor ketika berangkat kerja menuju Balai Kota Depok dan aktivitas kedinasan lainnya.

Program-program unggulan Nur Mahmudi tersebut tidak didukung oleh pemerintahan selanjutnya yang di pimpin Mohammad Idris yang sebelumnya Wakil Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail pada masa jabatannya yang kedua pada 2011-2016.

Akibatnya, sehari setelah dilantik sebagai Wali Kota Depok periode 2016-2021 Mohammad Idris langsung menghapus program unggulan Nur Mahmudi Ismail, yaitu One Day No Rice dan One Day No Car.

"Mulai hari ini saya nyatakan program One Day No Rice dan One Day No Car dihapuskan," tegas Idris.


Tersangkut Korupsi

Dua tahun setelah tidak menjabat sebagai wali kota Depok, warga Depok dikejutkan dengan status tersangka mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail dengan dugaan korupsi pelebaran Jalan Nangka di Sukamaju Baru, Tapos Kota Depok, Jawa Barat senilai sekitar Rp10 miliar.

"Saya kaget saja kalau Pak Nur jadi tersangka. Saya juga tahunya dari media," kata salah seorang kerabat dekat Nur Mahmudi, Tafie.

Polres Kota Depok menetapkan mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi proyek pelebaran Jalan Nangka Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat.

"Ya, betul sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Argo Yuwono.

Selain Nur Mahmudi, penyidik tipikor pun juga menetapkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok Harry Prihanto sebagai tersangka.

Penetapan tersangka setelah menerima hasil udit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat turun dan terdapat kerugian negara.

Kasus ini bergulir sejak Oktober 2017. Dari hasil penyelidikan dan gelar perkara yang dilakukan pada Januari 2018 serta setelah memeriksa 87 saksi status penyelidikan naik ke tingkat penyidikan.

Polresta Kota Depok berencana memanggil tersangka dugaan kasus korupsi pelebaran Jalan Nangka di Sukamaju baru Tapos Depok, Jawa Barat, Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto dalam kapasitasnya sebagai tersangka.

"Nanti tim akan perkuat alat bukti jika pada waktunya sudah mencukupi, akan dilakukan pemanggilan kepada Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Kapolres Depok Kombes Pol Didik Sugiarto.

Polres Kota Depok menetapkan mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekda Kota Depok Harry Prihanto menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi proyek pelebaran Jalan Nangka Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat.

Hasil auditor BPKP Jawa Barat diketahui kerugian negara mencapai sekitar Rp10 miliar lebih dari total Rp17 miliar APBD yang digelontorkan untuk pelebaran Jalan Nangka tersebut.

Dalam proses pembebasan lahan ini, tim penyidik menemukan perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekda Kota Depok Harry Prihanto.

Penetapan Nur Mahmudi Ismail dan Harry Prihanto sebagai tersangka telah dilakukan pada 20 Agustus 2018.

"Yang jelas bahwa penyidik akan melakukan proses, langkah-langkah penyidikan yang dilakukan untuk melakukan pembuktian. Semua rangkaian tindakan yang dilakukan untuk melakukan pembuktian dari kontruksi hukum yang sudah disusun penyidik," katanya.

Pihak Tindak Pidana Korupsi Polresta Depok pada Kamis (19/4) memeriksa Wali Kota Depok periode 2006-2011 dan 2011-2016 Nur Mahmudi Ismail selama sembilan jam.

Nur Mahmudi datang ke Polres Depok ketika itu sekitar pukul 08.30 WIB dan langsung masuk ruangan Tipikor Polresta Kota Depok. Politikus PKS ini keluar dari ruangan Tipikor Polres pada pukul 17.30 WIB.

Usai menjalani pemeriksaan, Nur Mahmudi yang mengenakan pakaian batik cokelat enggan memberikan komentar tentang pemeriksaan tersebut kepada awak media yang telah menunggunya sejak siang hari.

Ia langsung masuk mobil Innova warna hitam dengan nopol B-7359-UB yang telah menunggunya.

Ketika ditanyakan wartawan terkait dengan kabarnya, Nur Mahmudi hanya berkomentar singkat, "Alhamdullilah sehat."

Namun, ketika ditanyakan soal terkait apa dia diperiksa, Nur Mahmudi hanya menjawab, "Tanya saja ke polisi, ya."

Sambil berjalan ke arah mobil, dia hanya menyatakan, "Sudah, ya, cukup."

Nur Mahmudi Ismail dimintai keterangan terkait dengan kasus dugaan korupsi dalam proyek pelebaran Jalan Nangka, Tapos, Depok, Jawa Barat pada 2015. Dalam kasus tersebut, negara dirugikan puluhan miliar rupiah.

Baca juga: Polresta Depok tetapkan Nur Mahmudi Ismail sebagai tersangka korupsi
Baca juga: Status PNS Nur Mahmudi diserahkan ke BPPT


 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018