Majelis hakim tingkat banding berpendapat putusan ...
Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama terhadap advokat Fredrich Yunadi sehingga tetap divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan karena terbukti merintangi pemeriksaan Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-Elektronik.

"Majelis hakim tingkat banding berpendapat putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 9/Pid.Sus-Tpk/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Juni 2018 dapat dipertahankan dan dikuatkan," kata Juru Bicara Pengadilan Tinggi Jakarta, Johanes Suhadi di Jakarta, Rabu.

Putusan banding itu ditetapkan oleh oleh ketua majelis Ester Siregar dengan anggota I Nyoman Sutama, James Butar-butar, Anthon R Saragih dan Jeldi Ramadhan.

Putusan itu diambil dengan perbedaan pendapat (dissenting opinion) Jeldi Ramadhan yang menilai bahwa Fredrich seharusnya divonis 10 tahun penjara.

"Menimbang bahwa kapasitas terdakwa sebagai bagian dari 'criminal justice system' yang seharusnya menjunjung tinggi hukum dan keadilan tapi fakta hukumnya melakukan hal-hal yang melawan hukummaka hakim anggota 4 ad hoc Jeldi Ramadhan berpendirian putusan tingkat pertama terlalu ringan dan karenanya terdakwa perlu dijatuhi pidana penajra yang setimpat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakt yaitu pdian penjara 10 tahun," demikian tertera dalam salinan putusan banding tersebut.

"Berikutnya, Penuntut Umum KPK akan mempelajari terlebih dahulu dan memberikan saran pada Pimpinan tentang bagaimana proses lebih lanjut sejak rilis ini kami terima Selasa, 9 Oktober 2018, KUHAP memberikan waktu sekitar 14 hari untuk mempertimbangkan lebih lanjut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Fredrich sebagai pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto dinilai terbukti memberikan saran agar Setya Novanto tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden, selain itu melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

Pada 15 November 2017 Setnov tidak datang memenuhi panggilan Penyidik KPK dan penyidik pun datang ke rumah Setnov pada malam harinya dan menemukan Fredrich di rumah itu.

Saat ditanya keberadaan Setnov, Fredrich mengaku tidak mengetahui padahal sebelumnya ia menemuI Setnov di gedung DPR. 

Pada 16 November 2017 Fredrich menghubungi dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo untuk meminta bantuan agar Setnov dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosa menderita beberapa penyakit, salah satunya adalah hipertensi. 

Bimanesh Sutarjo pun menyanggupi meski tahu Setnov sedang berkasus di KPK lalu menghubungi Plt. Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau dokter Alia agar disiapkan ruang VIP rawat inap atas nama Setnov.

Setelah Setnov dilakukan rawat inap, Fredrich memberikan keterangan di RS Medika Permata Hijau kepada wartawan bahwa Setnov mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh berdarah-darah serta terdapat benjolan pada dahi sebesar 'bakpao', padahal Setnov hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri dan leher sebelah kiri serta lengan kiri. 

Pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak melakukan penahanan kepada Setnov  namun Fredrich menolak penahanan tersebut dengan alasan tidak sah karena Setnov sedang dalam kondisi dirawat inap, padahal setelah dilakukan pemeriksaan oleh Tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di RSCM kesimpulannya menyatakan bahwa Setnov dalam kondisi mampu untuk disidangkan (fit to be questioned).

Baca juga: KPK banding atas vonis Fredrich
Baca juga: KPK siap hadapi banding dari Fredrich Yunadi

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018