Semarang (ANTARA News) - Setiap warga negara Indonesia yang bertanggung jawab akan tergerak hatinya untuk menentukan pilihan terhadap peserta Pemilihan Umum 2019, baik pemilu anggota legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden RI.

Sepanjang hak politik masih melekat, warga negara yang berusia 17 tahun pada hari "H" pencoblosan, Rabu, 17 April 2019, jangan sampai kehilangan hak pilihnya. Apalagi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur syarat pemilih.

Di dalam UU Pemilu juga mendefinisikan pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.

Namun, kenyataannya tidak semua warga negara Indonesia yang ikut pesta demokrasi setiap lima tahunan, baik pemilu anggota legislatif, pemilihan gubernur/wakil gubernur, pemilihan bupati/wakil bupati, maupun pemilihan wali kota/wakil wali kota.

Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Wanita Bulu Semarang, misalnya. Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, 27 Juni 2018, tidak semua warga Jateng di lapas tersebut bisa menggunakan hak pilihnya. Hal ini pun dibenarkan Kepala Lapas Kelas II A Wanita Bulu Asriati Kerstiani.

Asriati menyebutkan jumlah penghuni lapas setempat pada saat Pilgub Jateng sebanyak 368 orang, baik berstatus tahanan maupun narapidana. Dari jumlah itu, sebanyak 179 orang di antaranya adalah warga Jateng. Namun, mereka tidak bisa menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik.

Tidak semua nama mereka masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jateng 2018, atau hanya sebanyak 67 orang dari 179 penghuni warga Jateng yang masuk DPT.

Pada saat hari "H" pencoblosan di TPS 06, Kelurahan Pendrikan Kidul, Semarang Tengah, Rabu, 27 Juni 2018, tercatat 60 pemilih karena enam orang lainnya bebas.

Warga binaan Ermin Srigiarsih (pada saat itu berstatus tahanan dalam kasus penipuan yang terjerat Pasal 378 juncto Pasal 55 KUHP) mengaku dirinya memiliki KTP elektronik.

Akan tetapi, pada Pilgub Jateng lalu perempuan berusia 60 tahun ini tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak bisa menunjukkan KTP-el karena masih di tangan polisi.

Ermin Srigiarsih yang juga Ketua RW05, Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang mulai mendekam di Lapas Kelas II A Wanita Bulu sejak 29 Maret 2018.



Terancam Golput

Pengalaman pada Pilgub Jateng tampaknya perlu menjadi perhatian khusus Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, KPU Provinsi Jawa Tengah, dan KPU Kabupaten serta Kota. Lembaga penyelenggara pemilih ini perlu mencari solusi, mumpung masih ada waktu.

"KPU tidak boleh tinggal diam melihat potensi warga karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di tempat pemungutan suara (TPS)," kata Dr. Teguh Purnomo yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jateng.

Ratusan warga binaan Lapas Kelas II A Wanita Bulu jangan sampai tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Apalagi, kejadian di lapas, rumah tahanan negara (rutan), rumah sakit, dan pesantren sering terulang.

Teguh yang juga sebagai Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu menekankan bahwa pemilu anggota legislatif dan pilpres akan rawan gugatan jika soal pemilih tidak tuntas.

KPU perlu berpikir dan bertindak progresif sebagaimana saat penyelenggara pemilu ini membuat peraturan KPU terkait dengan larangan koruptor, bandar narkoba, dan/atau kejahatan seksual terhadap anak menjadi calon anggota legislatif.

Kendati demikian, dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus itu meminta KPU memastikan terlebih dahulu mandat atau delegasi undang-undang yang menjadi dasar. Dengan demikian, setelah peraturan KPU diundangkan, tidak gaduh.

Teguh yang pernah sebagai anggota KPU Provinsi Jawa Tengah itu, mengingatkan KPU jangan sampai melanggar prosedur dalam pembuatan aturan, apalagi sampai berujung pada uji materi di Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena itu, setiap PKPU harus harmonis dengan peraturan di atasnya, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




Tidak Ingin

Kepala Lapas Kelas II A Wanita Bulu Asriati Kerstiani tidak tinggal diam karena pihaknya tidak ingin warga binaannya kehilangan hak pilih, baik dalam pemilu anggota legislatif maupun Pilpres 2019.

Kalapas lantas bersurat ke KPU Kota Semarang pada Juli 2018, kemudian memperbarui surat dengan alamat tujuan yang sama pada 17 September 2018.

Dalam surat tersebut, pihaknya mengusulkan 339 warga binaan untuk bisa menyalurkan hak pilihnya pada pemilu anggota legislatif dan Pilpres 2019.

KPU Kota Semarang pada 23 Oktober membalas surat kalapas yang intinya warga binaan lapas tersebut berada di Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Kota Semarang (Kecamatan Semarang Tengah, Semarang Utara, dan Semarang Timur) sebanyak 17 orang.

Karena jumlahnya hanya 17 warga binaan, KPU dalam suratnya bernomor 1726/PL/01.02-SD/3374/KPU-Kot/X/2018 memberitahukan bahwa Lapas Wanita Bulu Kota Semarang tidak memungkinkan untuk mendirikan tempat pemungutan suara (TPS) khusus.

Untuk warga binaan yang berada di luar kecamatan tersebut, kata Ketua KPU Kota Semarang Henry Wahyono, akan dikembalikan ke daerah masing-masing sesuai dengan domisili mereka.

Dalam surat KPU dijelaskan pula bahwa pada saat tahapan daftar pemilih tetap tambahan (DPTTB) mereka didaftarkan di TPS yang terdekat dengan Lapas Wanita Kelas II A Semarang.

Adapun mekanisme atau teknis pendataan warga binaan lapas tersebut yang belum ber-KTP agar menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019, menurut Ketua KPU Kota Semarang, pihaknya menunggu petunjuk selanjutnya dari KPU RI.

Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik (Binadik) Nur Musyafidah mengungkapkan bahwa kendala 322 warga binaan belum masuk DPT karena mereka tidak bisa menunjukkan KTP-el ketika masuk lapas tersebut.

Menurut dia, kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan menjelang Pilgub Jateng, 27 Juni 2018. Namun, bedanya pada Pemilu 2019, tidak semata karena KTP-el, tetapi juga berdasarkan daerah pemilihan masing-masing warga binaan.




Proaktif

Guna meminimalkan angka golput pada Pemilu 2019, Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Jateng meminta KPU proaktif mendata warga binaan di wilayah lapas masing-masing agar mereka bisa menggunakan hak pilihnya pada pemilu serentak, 17 April 2019.

??? "KPU harus segera koordinasi dengan lapas supaya hak pilih warga binaan tidak hilang," kata Ketua LPP PWI Provinsi Jateng Zainal Abidin Petir.

Menyinggung syarat pemilih, Zainal Petir menegaskan bahwa warga binaan yang bisa menggunakan hak pilih terlebih dahulu tercatat dalam DPT. Adapun syaratnya adalah warga yang ber-KTP-el dapil wilayah lapas berada. Aturan ini termaktub dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Dengan demikian, warga binaan lain dapil tetap harus didaftar di alamat asal dan nanti menjelang pencoblosan diuruskan A.5-KWK (surat keterangan pindah memilih di TPS lain).

Namun, surat pindah TPS ini hanya bagi yang sudah masuk DPT. Mereka yang pakai surat pindah hanya mendapat surat suara pilpres dan DPD RI, kecuali jika mereka masih berada dalam dapil yang sama bisa mendapat surat suara DPR RI dan DPR Provinsi Jateng.

Walaupun demikian, menurut Zainal Petir, hak pilih untuk pemilu anggota legislatif tingkat kabupaten/kota akan banyak hak pilih warga binaan yang hilang. Artinya, hak pilih mereka tidak bisa dipakai. Pasalnya, tidak mungkin warga binaan mencoblos di dapil masing-masing.

Hal itu tampaknya perlu dipikirkan oleh penyelenggara pemilu agar mereka tidak kehilangan hak pilihnya gara-gara syarat pemilih yang begitu ketat.*



Baca juga: KIP DKI putuskan KPU harus buka NIK

Baca juga: KPU tunggu salinan putusan MA soal anggota DPD dari parpol


 

Pewarta: Kliwon
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018