Jadi kalau warga ada yang bilang, Bung Karno itu 'menghidupi' ya memang benar. Bung Karno secara fisik memang sudah wafat, tapi Bung Karno betul-betul bisa menghidupi warga Blitar. Karena setiap tahun, jutaan orang datang ke Blitar untuk berziarah."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Walikota Blitar dua periode Djarot Saiful Hidayat bercerita soal Komplek Makam Bung Karno di Blitar dan bagaimana Bung Karno "menghidupi" warga Kota Blitar.

Djarot Saiful Hidayat yang juga mantan Gubernur DKI Jakarta dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, berkunjung ke Kompleks Makam Bung Karno, di Kota Blitar, Jawa Timur, Selasa.

Djarot Saiful Hidayat dan Hasto Kristiyanto ketika turun dari kendaraan di halaman parkir Kompleks Makam Bung Karno dan menuju ke  jejeran kios-kios yang berada di
palataran halaman parkir, segera menjadi perhatian warga. Puluhan warga yang berada di sekitarnya, mendadak berebut untuk menyapa, mengajak bersalaman, dan meminta
foto bersama. 

Seperti dikutip dalam siaran pers dari PDI Perjuangan, suasana yang semula tenang, berubah menjadi ramai dan riuh, setelah kehadiran Djarot Saiful Hidayat dan Hasto Kristiyanto, yang didampingi sejumlah calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan.

Bagi Djarot Saiful Hidayat, Komplek Makam Bung Karno itu adalah tempat yang terasa istimewa, karena dialah yang membangun lapangan parkir pada tahun 2003, saat masih
menduduki jabatan walikota Blitar.

Di halaman parkir itu, tampak puluhan kios berjejer yang menjual kaos, celana, cinderamata, maupun makanan, di Lapangan parkir bus menuju Kompleks Makam Bung Karno.
Kemeja, kaos, dan cinderamata yang dijual umumnya, dihiasi  dengan gambar Bung Karno dan tulisan kata-kata bersejarah, seperti Putra Sang Fajar.

"Dulu tempat ini adalah kantor kecamatan. Lalu saya pindah kantornya, supaya tempat ini menjadi lahan parkir sekaligus para pedagang dapat ditata berjualan di dalam kios,"
kata Djarot. 

Djarot dan Hasto bersama rombongan, kemudian berziarah ke makam Bung Karno. Usai berziarah, mereka kembali ke halaman parkir. Djarot bercerita, kalau dirinya yang
mempercantik Komplek Makam Bung Karno, dengan membangun halaman parpir, membangun puluhan kios yang berjejer, menanam pohon penghijauan dan bunga-bunga
dengan sentuhan seni.

Pohon-pohon dan bunga-bunga yang ditaman telah berusia sekitar 15 tahun. Kini, Komplek Makam Bung Karno di Blitar, tampak indah dan asri.  Adanya pohon yang rindang
membuat pemandangan menjadi asri dan udara menjadi segar. "Itu pohon trembesi. Itu juga trembesi," kata Djarot sambil menunjuk sejumlah pohon.

Jarak lapangan parkir ke lokasi makam Soekarno itu sekitar 500 meter. Diceritakan Djarot, jika pengunjung ingin berjalan kaki dipersilahkan. Jika pengunjung ingin
menggunakan kendaraan, juga telah disiapkan kendaraan becak, dengan ongkos Rp15.000 untuk sekali jalan. Warga aekitar yang berprofesi sebagai penarik becak di komplek
makam itu pun bisa menghidupi keluarganya. 

"Jadi kalau warga ada yang bilang, Bung Karno itu 'menghidupi' ya memang benar. Bung Karno secara fisik memang sudah wafat, tapi Bung Karno betul-betul bisa menghidupi warga Blitar. Karena setiap tahun, jutaan orang datang ke Blitar untuk berziarah," kata Djarot.

Menurut Djarot, para wisatawan dan pengunjung yang berziarah ke Makam Bung Karno itu membelanjakan uangnya di Blitar, sehingga terus menggerakkan perekonomian
masyarakat Blitar. "Itu namanya, menghidupi warga Blitar," katanya.

Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menambahkan, kini berbagai tradisi kebudayaan Jawa, yang menyatukan seluruh sejarah peradaban Singosari, Majapahit, hingga
Mataraman, berkembang dengan baik. "Gerak kebudayaan ini menggelorakan kembali kebanggaan sebagai bangsa yang bermartabat dan berkepribadian karena tradisi
kebudayaannya,” kata Hasto. 

Tradisi kebudayaan ini, menurut Hasto, yang disebut oleh Bung Karno dalam ajaran Trisakti, bahwa bangsa Indonesia memiliki berkepribadian di bidang kebudayaan.

Djarot juga mengingatkan, Makam Bung Karno semula ditutup oleh Pemerintah Orde Baru menggunakan kaca tebal dan tahan peluru. Masyarakat awam tidak bisa masuk ke dalam Komplek Makam Bung Karno. "Ketika saya terpilih sebagai Walikota Blitar pada tahun 2000, kaca tebal itu saya bongkar dan masyarakat dapat berziarah ke makam Bung Karno.


Wisata di Kota Blitar

Djarot selama dua periode menjadi walikota Blitar, pada 2000-2005 dan 2005-2010, juga melakukan pembenahan pada destinasi wisata lainnya, seperti Istana Gebang. Istana Gebang adalah rumah kediaman Presiden pertama RI Soekarno di Kota Blitar, Jawa Timur. Istana Gebang ini berada di Jalan Sultan Agung, sekitar dua kilometer dari Makam Bung Karno. 

Setiap tanggal 6 Juni, yakni hari kelahiran Bung Karno, di Istana Gebang ini diselenggarakan acara memperingati hari lahir Bung Karno. Pemerintah Kota Blitar melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, juga menampilkan kesenian tradisional setiap minggu pagi. Pertunjukan kesenian ini bisa dilihat secara gratis oleh pengunjung Istana Gebang.

Djarot juga membangun, Sentra Kerajinan dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), guna menunjang wisata di Komplek Makam Bung Karno dan Istana Gebang. "Blitar tidak mengandalkan isvestasi besar seperti pablik manufaktur, tapi investasi kecil melalui UMKM," katanya.

Di Blitar tidak pernah ada demo buruh, karena sebagian besar warganya berwiraswasta. "Inilah wiraswasta yang dihidupi Bung Karno. Saya bangga dengan Blitar. Ekonomi kerakyatannya tumbuh pesat. Blitar juga menjadi sentra peternakan ayam petelur," katanya.

Bupati Blitar Riyanto dan Pelaksana tugas (Plt) Walikota Blitar Santoso, yang mendampingi Djarot Saiful Hidayat Hasto Kristiyanto, pada kunjungan tersebut, bertekad untuk menjadikan Blitar sebagai salah satu pusat sejarah Bung Karno.

Kota Blitar memang identik dengan sosok proklamator Republik Indonesia, Ir Soekarno. Soekarno yang populer dengan sebutan Bung Karno, dan kemudian menjadi pahlaman nasional ini, lahir di Surabaya. Soekarno ketika kecil tinggal di Kota Blitar dan rumah tempat tinggal Soekarno kecil, saat ini dinamakan Istana Gebang. Sekarno setelah wafat juga dimakamkan di Kota Blitar.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018