Yogyakarta (ANTARA News) - Balai Penyelidian dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyebut intensitas guguran kubah lava yang terjadi di Gunung Merapi saat ini masih dikategorikan rendah jika dibanding kondisi yang terjadi saat erupsi Merapi 2006.

"Saat ini, guguran yang terjadi tercatat sebanyak belasan hingga puluhan kali. Namun, pada 2006 bisa terjadi hingga ratusan kali," kata Kepala BPPTKG Hanik Humaida di Yogyakarta, Rabu.

Ia mengatakan guguran yang terjadi juga masih dalam skala kecil dan sebagian besar terjadi di dalam kawah gunung, meski ada beberapa yang meluncur hingga mengarah ke Sungai Gendol namun jumlahnya tidak banyak.

Jarak luncuran dari guguran kubah lava yang mengarah ke Sungai Gendol juga dinilai masih pendek, yaitu sekitar 300 meter. Guguran kubah lava tersebut dapat terjadi karena adanya dorongan magma dari bawah gunung yang terus mendesak ke atas membentuk kubah lava.

"Proses pembentukan kubah lava ini memang menjadi bagian dari fase letusan efusif Gunung Merapi seperti yang saat ini terjadi," kata Hanik.

Berdasarkan pengamatan BPPTKG, pertumbuhan kubah lava juga masih dinilai kecil yaitu sekitar 2.000 hingga 3.000 meter kubik per hari.

"Meskipun pertumbuhan kubah lava dan intensitas guguran masih rendah, namun masyarakat tetap diminta waspada dan selalu mengikuti serta mematuhi arahan dari pihak berwenang. Salah satunya, rekomendasi terkait jarak aman," katanya.

Saat ini, rekomendasi jarak aman ditetapkan tiga kilometer dari puncak.

"Fenomena guguran kubah lava memang merupakan peristiwa yang cukup menarik. Jika ingin melihatnya, maka bisa dilakukan di jarak yang aman atau pada jarak yang lebih jauh lagi. Misalnya di sekitar lapangan golf Merapi," katanya.

Selama musim libur panjang akhir tahun, Hanik mengatakan, BPPTKG juga terus melakukan komunikasi dengan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) untuk mengarahkan pengunjung agar tetap bersikap waspada dan mematuhi rekomendasi jarak aman.

Hanik mengatakan masyarakat juga perlu mencermati berbagai informasi yang beredar di media sosial terkait kondisi Gunung Merapi karena saat ini banyak orang yang mampu membeli peralatan seperti kamera untuk ikut memantau perkembangan Gunung Merapi.

Namun demikian, lanjut Hanik, pemantauan kondisi Gunung Merapi tidak bisa hanya dilakukan dengan cara pengamatan visual saja tetapi perlu memperhatikan berbagai parameter lain seperti kegempaan, deformasi hingga kondisi geokimia.

"Data-data tersebut kemudian diolah dan dianalisa untuk menentukan kebijakan berikutnya. Tidak sekadar dari pengamatan visual saja," katanya.

Baca juga:
Desa-desa di lereng Merapi siapkan mitigasi bencana
BPPTKG: guguran lava Merapi masih berpotensi muncul

 

Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018