Brisbane (ANTARA News) - Masa depan karir politik Perdana Menteri John Howard di ujung tanduk. Asumsi itu didasarkan pada berbagai hasil survei lembaga-lembaga "polling" di Australia yang menunjukkan kemerosotan popularitas dirinya dibandingkan dengan Kevin Rudd, pesaing beratnya dalam Pemilu Federal 2007. Bahkan pada Pemilu tahun ini, yang tanggal penyelenggaraannya belum diumumkan Howard, boleh jadi merupakan akhir dari era kekuasaan Koalisi Partai Liberal-Nasional yang menjadi basis kekuatan politik yang menghantarkannya ke kursi perdana menteri, jika hasil survei bulanan terakhir Sydney Morning Herald/AC Nielsen yang dipublikasi Senin (8/10) berulang dalam Pemilu itu. Seperti dalam berbagai survei yang menunjukkan keunggulan Partai Buruh Australia (ALP) atas kubu koalisi dalam 18 bulan terakhir, hasil jajak pendapat terbaru Herald/Nielsen yang melibatkan 1.405 orang responden pemilih itu semakin memperkuat posisi ALP karena terbukti tetap unggul 12 poin atas kubu koalisi. Bahkan mayoritas responden meyakini kelayakan Pemimpin Oposisi Kevin Rudd sebagai sosok pemimpin bervisi dan lebih dapat dipercaya dibanding John Howard, kendati kemampuannya dalam mengelola ekonomi negara dianggap sejumlah responden pemilih ALP dan Partai Hijau masih di bawah Howard. Dari 1.405 responden pemilih yang disurvei sejak Kamis malam hingga Sabtu lalu itu, sebanyak 56 persen menjagokan ALP dan 44 persen lainnya memilih kubu koalisi. Dengan keunggulan 12 poin itu, cukup bagi kubu ALP untuk mengambil alih pemerintahan jika hasil survei ini berulang dalam Pemilu 2007. Jika pada Pemilu 2004, PM Howard mengusung "kepercayaan" sebagai tema sentral kampanye dirinya, kali ini, menurut Sydney Morning Herald, Kevin Rudd justru mengungguli Howard dalam soal "trust" (kepercayaan) para pemilih. Tercatat sebanyak 43 persen responden memilih Rudd sebagai pemimpin yang layak dipercaya berbanding 32 persen yang menjagokan Howard. Dalam soal visi, sebanyak 48 persen responden juga menganggap Kevin Rudd, politisi ulung lulusan Fakultas Studi-Studi Asia Universitas Nasional Australia (ANU) yang jago Bahasa Mandarin ini, sebagai sosok pemimpin yang bervisi bagi Australia. Rudd unggul 10 poin dari Howard yang hanya dipilih oleh 38 persen responden. Hanya saja, seperti dikatakan Direktur Lembaga Survei AC Nielsen, John Stirton, para pemilih ALP dan Partai Hijau lebih percaya pada kemampuan Howard dalam mengelola perekonomian negara. Anggapan ini, katanya, justru memberikan sedikit harapan bagi kubu pemerintah. "Artinya bisa diasumsikan bahwa para pemilih ini bisa saja mengubah pilihannya pada kubu koalisi jika mereka bisa diyakinkan (kubu Howard-red.) bahwa ekonomi adalah isu yang sangat penting," kata Stirton, seperti dikutip Herald. Beberapa survei milik Rudd Sebenarnya, posisi Kevin Rudd dan ALP yang terus unggul atas PM Howard dan kubu koalisi telah berulang kali terekam dalam hasil berbagai jajak pendapat, termasuk hasil survei Suratkabar The Australian pada akhir September lalu. Dalam survei The Australian itu, ALP meraih 56 persen atau unggul 12 poin dari kubu koalisi yang hanya mendapat 44 persen. Dibandingkan hasil survei pada pertengahan September lalu, keunggulan kubu ALP atas koalisi ini semakin kuat. Keunggulan ALP sebesar 10 hingga 12 poin atas koalisi itu pun terus konsisten dalam berbagai hasil survei yang dilakukan sejak awal Juni lalu. Di tengah keunggulan pesaing beratnya itu, PM Howard belum mengumumkan tanggal pasti Pemilu. Media setempat menilai hal ini sebagai taktik Howard karena kubunya yakin bahwa waktu kampanye yang lebih lama akan merugikan Kevin Rudd. Pengamat politik Universitas Nasional Australia, John Wanna, seperti dikutip suratkabar yang berbasis di Brisbane, The Courier Mail, mengkhawatirkan kemungkinan kampanye kotor oleh kedua kubu partai utama yang bersaing ketat itu. Kendati dibantah keras kubu koalisi, informasi tentang sejarah medis Pemimpin Oposisi Kevin Rudd yang 15 tahun lalu pernah mengalami bedah jantung sempat bocor ke media massa negara itu sehingga membuat berang kubu ALP. Sebelumnya, Kevin Rudd pun pernah dipojokkan dengan isu kunjungannya ke klub penari telanjang di New York pada 2003 namun popularitasnya tidak terganggu oleh isu ini seperti ditunjukkan oleh keunggulan ALP sebesar 14 poin dari kubu koalisi dalam survei Herald Sun/Galaxy Agustus lalu. Howard sendiri berupaya memperbaiki posisi dirinya dan koalisi partainya dalam jajak pendapat dengan mengumumkan rencana pengunduran dirinya di tengah masa pemerintahan barunya jika ia memenangkan Pemilu 2007 dan memberikan mandat perdana menteri kepada Peter Costello, wakilnya di Partai Liberal yang juga menjabat bendahara persemakmuran dalam kabinetnya. Terlepas dari dinamika yang terus bergulir di antara kedua kubu, Howard tetap konsisten untuk tidak buru-buru mengumumkan tanggal resmi penyelenggaraan Pemilu kendati beberapa opsi tanggal penyelenggaraan Pemilu 2007 yang beredar di media setempat adalah 3 November, 10 November atau 17 November 2007. Dari ketiganya, media cetak setempat berspekulasi bahwa tanggal yang paling mungkin adalah 17 November. Menanggapi keunggulan kubu ALP yang terus-menerus dalam berbagai survei itu, Howard mengakui bahwa bayang-bayang kekalahan besar dalam Pemilu sedang mengancam pemerintahnya. Hasil jajak pendapat Galaxy Agustus 2007 bahkan menjadi "lampu merah" bagi politisi kelahiran 26 Juli 1939 yang menjadi perdana menteri ke-25 Australia dan merupakan perdana menteri kedua terlama setelah Sir Robert Menzies itu karena kursi daerah pemilihan Bennelong, Sydney, diprediksi akan jatuh ke tangan kandidat ALP, Maxine McKew. Bagaimana analis Pemilu negara itu melihat pertarungan Howard dan Rudd? Antony Green, analis Pemilu kawakan Australian Broadcasting Corporation (ABC), misalnya, melihat situasi pertarungan kedua politisi ini sangat berbeda dengan saat Howard dengan mudah "menaklukkan" Mark Latham pada Pemilu 2004. Ketika kemenangan kubu Howard dalam Pemilu 2004 yang menghantarkan Koalisi Partai Liberal-Nasional menguasai mayoritas kursi di parlemen itu resmi diumumkan, Howard pernah sesumbar bahwa pemerintahannya tetap akan bertahan selama dua periode lagi. Sudah berubah Kondisi itu kini sudah berubah karena popularitas Howard ternyata terus merosot di mata para calon pemilih sejak 2004, terutama setelah estafet kepemimpinan ALP beralih dari Kim Beazley ke Kevin Rudd pada Desember 2006. Berbeda dengan popularitas Beazley yang masih kalah dibanding Howard, citra Kevin Rudd justru terus membaik dan popularitasnya tetap di atas Howard. "Peringkat persetujuan (publik) terhadap Kevin Rudd sebagai Pemimpin Oposisi terus berada di atas enam puluh persen selama berbulan-bulan, sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Green. Selain itu, Rudd juga terus mengungguli Howard dalam berbagai survei sebagai sosok perdana menteri yang "lebih disukai" calon pemilih, katanya. Terkait dengan pola persepsi calon pemilih yang cenderung berubah ke arah yang lebih positif terhadap kubu koalisi (pemerintah) setelah Pemerintah Federal mengumumkan anggaran negara pada bulan Mei seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Pemilu 2001 dan 2004, Green justru melihat kondisi sekarang ini "berbeda". "Sekarang (2007), polanya berbeda. Kubu Buruh tetap di depan dan tidak ada (hasil) jajak pendapat yang berubah setelah pemerintah (Howard) mengumumkan anggaran negara Mei lalu." Keunggulan ALP dalam berbagai jajak pendapat itu seakan memutar jarum sejarah ketika kubu Koalisi Partai Liberal-Nasional unggul telak atas ALP pada 1995/1996. Bagi Kevin Rudd, tingkat popularitasnya sebagai pemimpin oposisi kini jauh melebihi tingkat popularitas Howard atas Paul Keating (saat menjadi Perdana Menteri) sepanjang 1995/1996, katanya. Hanya saja kalkulasi politik yang tergambar dalam hasil berbagai itu tidak serta merta 100 persen mencerminkan keinginan dominan para pemilih di bilik suara. Pasalnya, dalam lintas sejarah perjalanan ALP dalam beberapa Pemilu Federal, partai yang kini dipimpin Kevin Rudd itu tidak selalu bernasib "mujur" di wilayah pemilihan Queensland dan Australia Selatan. Sebagaimana dicatat Green, kinerja mesin politik ALP terus-menerus buruk di dua negara bagian itu sejak 1996 sehingga tidak ada pilihan lain kecuali bagaimana ALP di bawah Rudd harus berjuang penuh memperbaiki kinerjanya untuk bisa menang dalam Pemilu. Isu lokal terbesar di Queensland tahun ini, kata Green, adalah masalah penggabungan dewan. Di daerah-daerah tertentu di Queensland, seperti Redcliffe, Noosa, Douglas Shire dan beberapa wilayah pedesaan, masalah penggabungan dewan ini merupakan isu yang sangat panas. Pemerintahan Howard justru berminat mendanai referendum yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Australia (AEC) walaupun belakangan banyak dewan yang menerima penggabungan ini dan beberapa dewan yang terkena penggabungan berada di kantong-kantong kursi Partai Liberal dan Nasional, kata Green. Bagaimana akhir dari drama Pemilu Federal ini masih akan ditentukan oleh para pemilih sebelum perayaan Natal 2007. Akankah mayoritas rakyat Australia masih tetap "nyaman" dengan pemerintahan Howard yang mengklaim berhasil membangun perekonomian walaupun menjelang penyelenggaraan Pemilu justru gagal mempertahankan suku bunga rendah yang dijanjikannya? Atau sebaliknya, mayoritas rakyat negara benua berpenduduk 20,2 juta jiwa ini mengingingkan perubahan rezim? Jika yang terakhir ini merupakan pilihan mereka nantinya, itulah saat di mana era kekuasaan Howard berakhir setelah menjadi orang nomor satu di Australia sejak 11 Maret 1996. Namun, seperti yang pernah dikatakan seorang diplomat senior Indonesia di Canberra, siapa pun yang kelak menjadi perdana menteri Australia, hubungannya dengan Indonesia diharapkan tetap langgeng. (*)

Pewarta: Oleh Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2007