Jakarta (ANTARA) - Penggunaan perangkat lunak tidak berlisensi atau bajakan di Indonesia patut menjadi perhatian, karena berdasarkan data BSA (The Software Alliance) tahun 2017, sebesar 83 persen software yang beredar di Tanah Air adalah bajakan.

Senior Director BSA, Tarun Sawney menjelaskan rata-rata penggunaan software tidak berlisensi di Asia Pasifik adalah 57 persen, sedangkan Indonesia mencapai 83 persen, sehingga menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

"Di kawasan Asia Pacifik, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia sendiri mencapai 83 persen. Ini tinggi sekali, bahkan termasuk yang tertinggi di dunia," kata Tarun Sawney dalam acara kampanye Legalize and Protect di Jakarta, Senin.

Untuk itu, BSA gencar berkampanye "Legalize and Protect" di beberapa negara Asean termasuk Indonesia, demi menjangkau pada pebisnis agar menggunakan software legal atau berlisensi, karena penggunaan piranti tak berlisensi berisiko terkena serangan siber.

Tarun mengatakan selain terkena serangan siber, data pengguna juga bisa hilang dan pemulihannya akan memakan waktu lama, bahkan berpotensi membuat perusahaan atau bisnis mengalami kerugian yang besar.

"Kita kadang berpikir kalau ini tidak akan terjadi sama kita dan ini salah. Kalau terjadi, biaya yang yang dikeluarkan akan sangat besar dan bisa membuat perusahaan itu tutup. Uang yang kita keluarkan untuk membeli software berlisensi akan melindungi kita," jelas Tarun.

Menurut Tarun, menggunakan software bajakan akan berpeluang terkena serangan malware hingga 29 persen. Namun, dia juga mengatakan penggunaan software berlisensi bukan berarti bebas dari serangan siber. Setidaknya software berlisensi akan menjadi benteng pertama untuk perlindungan.

"Dalam kampanye ini, kita akan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menggunakan software berlisensi. Ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas kerja perusahaan, meningkatkan keamanan data, serta menjaga reputasi perusahaan. Sebab bila sebuah perusahaan mengalami serangan malware, itu bisa menyebabkan kerusakan reputasi dan kerugian bisnis yang besar," ujar Tarun.

Baca juga: Lima e-commerce dukung perlindungan konsumen dari peranti lunak palsu

Baca juga: Software palsu bahayakan pengguna transaksi online

Baca juga: 7.691 keping software bajakan dimusnahkan


Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019