Kupang (ANTARA) - Puluhan warga yang tergabung dalam kelompok Barisan Anti Tambak Metikuik Tasiktuik (Barat-Malaka) menggelar unjuk rasa untuk memprotes pembangunan tambak garam yang dinilai telah merusak kawasan hutan bakau di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Pembebasan lahan untuk pembangunan tambak garam di Malaka telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa terutama di dalamnya mengorbankan hutan mangrove (bakau)," kata koordinator aksi Yosep Suban Kelen kepada wartawan, di sela unjuk rasa yang dipusatkan di depan Markas Polda NTT, di Kupang, Sabtu.

Ia mengatakan, pihak PT Inti Daya Kencana selaku perusahaan pembangun bersama Pemerintah Kabupaten Malaka, sejauh ini telah membebaskan lahan seluas 1.100 hektare untuk pembangunan tambak garam itu.

Masyarakat, lanjutnya, diberikan ganti rugi dengan perhitungan Rp1 juta/hektare untuk lahan tidak produktif dan Rp3 juta/hektare untuk lahan produktif.

Menurutnya, model pembebasan lahan ini telah mendapat protes dari warga di sekitar kawasan industri maupun di luar daerah, karena tidak memberikan dampak ekonomis bagi rakyat, serta telah merusak lingkungan hutan bakau.

"Seperti di Desa Rabasa Haerain itu, masyarakat semuanya tolak semua karena hutan mangrove yang berfungsi untuk mencegah abrasi justru dikorbankan untuk tambak garam," katanya lagi.

Ia mengatakan, dampak lain yang ditimbulkan dari pembangunan ini seperti hilang mata pencaharian, maupun mengabaikan budaya lulik (pemali/pantangan) yang diyakini masyarakat adat setempat.

Menurutnya, masyarakat pemilik lahan kecil di sekitar lokasi pembangunan juga terkena dampak kerusakan lingkungan, seperti sumber air yang mengering, gagal panen, serta abrasi akibat pembabatan hutan bakau.

Pihaknya meminta Pemerintah Kabupaten Malaka maupun perusahaan terkait agar bertanggung jawab terhadap segala kerusakan lingkungan yang meliputi hutan bakau di daerah tersebut.

"Kami juga menyayangkan pemerintah daerah tidak menyosialisasikan kebijakan pembangunan tambak garam ini dengan baik, masyarakat tidak diedukasi terkait baik dan buruk dampak kebijakan ini terhadap lingkungan," katanya pula.

Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019